A. Faktor Pendukung Dakwah
Peradaban informasi yang mendominasi dunia modern dalam beberapa dekade terakhir ini, telah membawa dampak global dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Dampak positif dan negatif peradaban hampir semuanya dapat dikaitkan dengan agama, terutama peluang sekaligus tantang dakwah. Segi positif dari peradaban informasi ini merupakan peluang dakwah, bahkan oleh pihak agamawan tidak terkecuali Islam telah dijadikan sebagai media pendukung dalam mengembangkan ajaran agama.
Peradaban informasi yang mendominasi dunia modern dalam beberapa dekade terakhir ini, telah membawa dampak global dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Dampak positif dan negatif peradaban hampir semuanya dapat dikaitkan dengan agama, terutama peluang sekaligus tantang dakwah. Segi positif dari peradaban informasi ini merupakan peluang dakwah, bahkan oleh pihak agamawan tidak terkecuali Islam telah dijadikan sebagai media pendukung dalam mengembangkan ajaran agama.
Islam yang selama ini hanya mampu berjalan dengan ke ikhlasannya
untuk menjalankan misi dakwahnya, kini sudah dengan mudah menyampaikan pesan
dakwah keseluruh pelosok nusantara dengan kemajuan teknologi. Tanpa disadari,
pesan yang disampaikan melalui sinetron, memberi pengaruh besar terhadap
kesadaran umat untuk menjalankan ajaran agama, peluang yang demikian haruslah
dimanfaatkan oleh pelaku dakwah.
Dengan demikian, tantangan besar yang dihadapi oleh umat Islam
adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Karena dengan
teknologi moderen, banyak hal yang dapat dilakukan untuk membantu tercapainya
misi suci (dakwah). Banyak hal yang selama ini tampak samar bagi para ulama,
akhirnya menjadi terungkap maksud dan kandungannya berkat iptek.
Oleh karena itu, kesiapan pelaku dakwah dalam berbagai hal seperti
yang telah dijelaskan di atas untuk menjawab/mengantisipasi tantangan adalah
sebuah keharusan bagi para pelaku dakwah sehingga ketika terjadi
kemungkinan-kemungkinan yang tidak diprediksi sebelumnya dapat diatasi, bahkan
dijadikan sebagai peluang keberhasilan dakwah.
B.
Faktor Penghambat Dakwah
Kegiatan dakwah yang kian hari kian
mendapat tantangan yang sangat kompleks, mesti ditunaikan dengan beragam
kekuatan dan potensi. Paling tidak tantangan yang menghadang lajunya
perkembangan dakwah islamiyah menurut karakteristiknya ada dua bagian besar,
yaitu klasik dan kontemporer. Klasik berupa praktek-praktek ritual yang
bercampur dengan animism, dinamisme, singkritisme, dan pengakuan sebagai Nabi palsu.
Sedangkan yang kontemporer berbentuk paham-paham keagamaan yang bercorak
sekularisme, pluralism, liberalism, dan feminism.
Selain itu, ada juga gerakan-gerakan yang
sengaja dimunculkan untuk memecah belah persatuan umat Islam, semisal gerakan
Syi’ah, Ahmadiyah, NII, dan lain-lain. Gerakan-gerakan pemikiran dan aliran-aliran dhal mudhil ini menjadi problematika
dakwah yang cukup serius untuk dihadapi dan diselesaikan oleh para juru dakwah
dan juga organisasi-organisasi keagamaan.
Dari sekian banyak tantangan dakwah, yang akan diuraikan
hanya beberapa tantangan serius yang kira perlu untuk
diketahui yaitu:
1.
Sekularisme
Jika dilihat dari akar bahasa, sekularisme
berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya berarti “zaman sekarang
ini” (the present age).[1] Sedangkan secara terminology sekularisme mengacu kepada doktrin atau
praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi Negara. Dalam Webster
Dictionary sekularisme didefiniskan sebagai “a system of doctrines and
practices that rejects any form of religious faith and worship”. Yang bila
diterjemahkan secara bebas berarti, sebuah system doktrin atau praktis yang
menolak bentuk apapun dari keimanan dan upacara keagamaan. Jadi secara
sederhana bisa dikatakan, sekularisme adalah paham pemisahan agama dari
kehidupan (fashlu al-Din ‘an al-hayat), yakni pemisahan agama dari
segala aspek kehidupan, yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama
dari Negara dan politik. Agama hanya diakui eksistensinya pada urusan privat
atau pribadi saja, hubungan manusia dengan Tuhannya. Tapi agama tidak boleh
dibawa-bawa ke wilayah publik, yang mengatur hubungan antar manusia, seperti masalah sosial, politik, ekonomi,
dan sebagainya.[2]
Sekuralisme merupakan pemahaman mengenai
aktivitas keagamaan yang muncul pada abad pertengahan. Paham secular ini tidak
sekedar muncul secara alamiah sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, melainkan dilakukan juga secara aktif oleh sejumlah kalangan. Sekularisasi otomatis
akan berdampak pada pendangkalan aqidah.
Syamsuddin Arif dalam bukunya, “Orientalis dan
Diabolisme Pemikiran” mengatakan bahwa, “Proses sekularisasi yang terjadi seperti “alamiah” sejalan
dengan perkembangan zaman, rupanya dihidup-hidupkan oleh sekelompok orang. Saya
sebut “dihidup-hidupkan” karena memang kita mengetahui ada usaha aktif untuk
terjadinya proses sekularisasi ini. Di tahun tujuh-puluhan kita ingat adanya
“gerakan sekularisasi” dalam rangka apa yang mereka sebut “pembaharuan” Islam.
Demikian pula yang terjadi akhir-akhir ini, ada “reaktualisasi” ada
“kontekstualisasi”, dan sebagainya. Jadi memang ada usaha aktif. Proses
sekularisasi ini amat nyata terutama dalam system pendidikan kita. Pelajaran
atau pemahaman agama diberikan bukan saja dalam content terbatas, tetapi
diberikannya pelajaran lain yang isinya mengaburkan atau bahkan bertentangan
dengan tujuan pendidikan manusia religious. Proses sekularisasi juga
menggunakan jalur publikasi dan media massa. Baik dalam bentuk buku-buku maupun
tulisan. Dalam kaitan ini saya mengajak pada para intelektual muslim khususnya
untuk memikirkan bagaimana menghadapi arus sekularisasi ini, baik yang terjadi
secara alamiah maupun yang disengaja”.[3]
Sekularisasi dipandang sebagai tantangan yang sangat serius bagi
kebangkitan Islam. upaya menanggulangi dan melawan gerakan sekularisasi harus lebih aktif dan harus menepis pemahaman sekular secara terus menerus. Dampak pemahaman sekular ini yang paling
nyata adalah hilangnya sikap amr ma’ruf nahyi munkar. Karena dengan
dalih hak asasi individu, orang akan semena-mena untuk meninggalkan
kewajiban-kewajiban agamanya dan leluasa melanggar aturan-aturan Allah. Padahal
ketika kegiatan amr ma’ruf nahyi munkar ditinggalkan maka yang terjadi
adalah lenyapnya keberkahan Wahyu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إذا عظَّمَتْ أمتى الدنيا
نُزِعَتْ منها هيبةُ الإسلامِ وإذا تَرَكَت الأمرَ بالمعروفِ والنهىَ عن المنكرِ
حُرِمَتْ بركةُ الوحى وإذا تسابَّتْ أمتى سقطتْ من عينِ الله (الحكيم عن أبى
هريرة) جامع الأحاديث
“Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabut kehebatan Islam;
dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amr ma’ruf nahyi munkar, maka akan
diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci, maka mereka
akan jatuh dalam pandangan Allah.” (H.R. al-Hakim dari Abu Hurairah)
2. Liberalisme
Istilah liberalism berasal dari bahasa
Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’.[4] Sebagai adjektif, kata
‘liberal’ dipakai untuk menunjuk sikap anti feudal, anti kemapanan, rasional,
bebas merdeka (independent), berpikiran luas lagi terbuka (open-minded).
Dalam politik liberalism dimaknai sebagai system dan kecenderungan yang
berlawanan dengan, dan menentang mati-matian sentralisasi dan absolutism
kekuasaan. Munculnya republic-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon
tidak terlepas dari liberalism ini.[5]
Kehadiran paham Liberism mengajarkan tiga hal, yaitu: pertama, kebebasan berpikir tanpa
batas alias free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak
kebenaran alias sophisme. Dan ketiga, sikap longgar dan semena-mena
dalam beragama (loose adherence to and free exercise of religion). Yang
pertama berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja. “Berpikir koq dilarang,”
ujar golongan ini. Yang kedua lebih dikenal dengan istilah ‘sufasta’iyah”, yang
terdiri dari skeptisisme, agnostisme, dan relativisme. Sementara yang disebut
terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah menisfestasi nifaq, dimana
seseorang tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya sudah tidak committed lagi
pada ajaran agama.[6]
Sayangnya, paham liberalism ini merembes
pada pola pikir umat Islam. Menurut Nirwan Safrin, benih kemunculan
liberalisasi di dunia Islam bisa ditelusuri ketika Daulah Utsmaniyah mulai
mengadopsi beberapa pemikiran Barat. Ketika Kerajaan ini gagal mempertahankan
beberapa wilayah kekuasaannya, para pemegang kekuasaan telah berusaha membawa
masuk segala kemajuan teknologi militer Barat ke Negara mereka. Ini disebabkan
adanya dugaan bahwa kekalahan mereka yang mereka alami disebabkan lemahnya
kekuatan militer mereka.
Tetapi importasi alat-alat militer saja tidak
cukup, karena mereka juga memerlukan tenaga-tenaga mahir untuk mengendalikan
peralatan tersebut. Akhirnya merekapun mengirimkan putra terbaik mereka ke
institut-institut pendidikan di Barat. Sekembalinya ke tanah air, mereka
mendapati bahwa keahlian yang mereka miliki tidak dapat dipraktekkan melainkan
system pendidikan yang ada juga diperbaharui. Akhirnya, dilakukan pembaruan
pendidikan. Tapi itu saja tidak cukup, karena ia juga menuntut pembaruan
politik. Begitulah seterusnya hingga akhirnya Kemal Attartuk membubarkan Daulah
Islamiyyah ‘Utsmaniyyah dan mendirikan Negara Turki berideologikan sekularisme.
Proses westernisasi pun berjalan dan segala yang berbau agama segera dihabisi.
Hampir satu abad Negara Turki sekuler sudah berdiri namun hingga hari ini
sebuah Turki tidak ada bedanya dengan Negara dunia ketiga yang lain,
terbelakang dari segi pendidikan dan terpuruk dari sisi ekonomi.[7]
Dari kasus Turki ini kita mendapat
pelajaran bahwa sekularisasi dan liberisasi ala Barat tidak akan mengundang
barakah hidup, sehingga alih-alih memperoleh kemajuan, malah yang terjadi
keterpurukan dan ketertinggalan dalam berbagai lini kehidupan.
3. Pluralisme
Tantangan dakwah yang tidak kalah
berbahaya selain sekularisme dan liberalism adalah pluralism. Karena pada
hakikatnya ketiga istilah ini merupakan satu mata rantai yang saling
menghubungkan antara satu dengan lainnya. Maksudnya, bila orang telah
dihinggapi paham sekuler dan berpola piker
liberal tentu sudah dapat ditebak, bahwa iapun akan menjadi pluralis dalam
pandangan keberagamaannya. Ia pasti mempunya worldview yang tidak islami
lagi.
Menurut Anis Malim Thoha dalam Tren
Pluralisme Agama, kata pluralism berasal dari plural yang berarti jamak
atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris, pluralism memiliki tiga pengertian,
yaitu (1) Pengertian kegerejaan, dengan makna [i] sebutan untuk orang yang
memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, dan atau [ii]
memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan
maupun non kegerejaan. (2) Pengertian filosofis, yaitu system pemikiran yang
mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. (3)
Pengertian sosio-politis, yaitu suatu system yang mengakui koeksistensi
keragaman kelompok, baik bercorak ras, suku, aliran, maupun partai dengan tetap
menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara
kelompok-kelompok tersebut.
Ketika disandingkan dengan agama, maka
pengertian ‘pluralisme agama’ adalah koeksistensi (kondisi hidup bersama)
antar-agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas, dengan tetap mempertahankan
ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing.[8]
Namun pada tataran implikasinya, pluralism
agama didasarkan pada asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah
menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah
jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Dengan kata lain, menurut
mereka, agama adalah persepsi relative terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga
dengan demikian setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa
agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri
agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute
truth claim) atas agamanya sendiri.[9]
Pemahan seperti ini jelas bertentangan dengan Al-Qur’an ayat 18 yang
mengatakan bahwa agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam. Allah
berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ
اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ
بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآَيَاتِ
اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ .
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah sesungguhnya Allah sangat cepat
hisab-Nya”. (Q.S. Ali Imran, ayat
19)
Dan firman-Nya di dalam ayat yang lain:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ
الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ
الْخَاسِرِينَ.
“Barangsiapa mencari agama selain dari
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,
dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imran, ayat 85).
Dengan demikian, jelas kesesatan dan
kekeliruan pluralism agama itu. Bagi kita umat muslim, Islam harus menjadi keyakinan yang
sebenar-benarnya bahwa hanya Islam agama yang benar, dan tidak sama dengan agama-agama
yang lain.
4. Aliran-Aliran
Selain kesesatan dan tantangan pemikiran
seperti yang telah penulis uraikan, gerakan-gerakan penghambat dakwah dan
perusak aqidah umat pun bisa berbentuk aliran-aliran (sekte-sekte) yang sengaja
dibuat agar umat menjadi kacau pemikiran dan aqidahnya.
[1] Adian Husaini, Indonesia
Masa Depan – Perspektif Peradaban Islam, (Jakarta: DDII), 2009, hal. 33.
[2] Siddiq Aminullah, “Mewaspadai
Sekularisme dan Liberalisme” dalam Majalah Risalah No. 8 September
2009, hal. 55.
[3] Syamsuddin Arif
menguraikan sebuah teori yang pernah digagas oleh August Comte dan diamini oleh
Durkheim, Weber, Marx, Freud, dan belakangan oleh Thomas Luckman dan Bryan
Wilson, yang terkenal dengan ‘secularization theis’ yang mengatakan
bahwa sekularisasi merupakan akibat yang tak terelakkan dari proses
modernisasi. Hal ini menunjukkan benarnya pendapat yang mengatakan bahwa secara
alamiah mungkin saja sekularisasi itu bisa terjadi. (Lihat Syamsuddin Arif, “Orientalis
dan Diabolisme Pemikiran”, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hal. 85.
[7] Nirwan Safrin, “Kritik
Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam”, makalah dalam Islamic
Worldview (Bogor: 2008), hal. 28.
[9] Adian Husaini, “Tantangan
Pemikiran Islam Kontemporer (Pengantar Umum)”, (Bogor: 2008), hal. 23.
0 comments:
Post a Comment