# Selamat Datang di Blog Baitul Hikmah Al-Aziziyah Gampong Tufah Kecamatan Jeunieb Kabupaten Bireuen. Sharing Informasi Terkini dan Berita-Berita Unik lainnya. #
Home » » TANTANGAN DAKWAH KONTEMPORER

TANTANGAN DAKWAH KONTEMPORER

Written By Blog on Saturday 28 February 2015 | 11:59

A.      Faktor Pendukung Dakwah
Peradaban informasi yang mendominasi dunia modern dalam beberapa dekade terakhir ini, telah membawa dampak global dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Dampak positif dan negatif peradaban hampir semuanya dapat dikaitkan dengan agama, terutama peluang sekaligus tantang dakwah. Segi positif dari peradaban informasi ini merupakan peluang dakwah, bahkan oleh pihak agamawan tidak terkecuali Islam telah dijadikan sebagai media pendukung dalam mengembangkan ajaran agama.
Islam yang selama ini hanya mampu berjalan dengan ke ikhlasannya untuk menjalankan misi dakwahnya, kini sudah dengan mudah menyampaikan pesan dakwah keseluruh pelosok nusantara dengan kemajuan teknologi. Tanpa disadari, pesan yang disampaikan melalui sinetron, memberi pengaruh besar terhadap kesadaran umat untuk menjalankan ajaran agama, peluang yang demikian haruslah dimanfaatkan oleh pelaku dakwah.
Dengan demikian, tantangan besar yang dihadapi oleh umat Islam adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Karena dengan teknologi moderen, banyak hal yang dapat dilakukan untuk membantu tercapainya misi suci (dakwah). Banyak hal yang selama ini tampak samar bagi para ulama, akhirnya menjadi terungkap maksud dan kandungannya berkat iptek.
Oleh karena itu, kesiapan pelaku dakwah dalam berbagai hal seperti yang telah dijelaskan di atas untuk menjawab/mengantisipasi tantangan adalah sebuah keharusan bagi para pelaku dakwah sehingga ketika terjadi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diprediksi sebelumnya dapat diatasi, bahkan dijadikan sebagai peluang keberhasilan dakwah.

B.       Faktor Penghambat Dakwah
Kegiatan dakwah yang kian hari kian mendapat tantangan yang sangat kompleks, mesti ditunaikan dengan beragam kekuatan dan potensi. Paling tidak tantangan yang menghadang lajunya perkembangan dakwah islamiyah menurut karakteristiknya ada dua bagian besar, yaitu klasik dan kontemporer. Klasik berupa praktek-praktek ritual yang bercampur dengan animism, dinamisme, singkritisme, dan pengakuan sebagai Nabi palsu. Sedangkan yang kontemporer berbentuk paham-paham keagamaan yang bercorak sekularisme, pluralism, liberalism, dan feminism.
Selain itu, ada juga gerakan-gerakan yang sengaja dimunculkan untuk memecah belah persatuan umat Islam, semisal gerakan Syi’ah, Ahmadiyah, NII, dan lain-lain. Gerakan-gerakan pemikiran dan aliran-aliran dhal mudhil ini menjadi problematika dakwah yang cukup serius untuk dihadapi dan diselesaikan oleh para juru dakwah dan juga organisasi-organisasi keagamaan.
Dari sekian banyak tantangan dakwah, yang akan diuraikan hanya beberapa tantangan serius yang kira perlu untuk diketahui yaitu:
1.         Sekularisme
Jika dilihat dari akar bahasa, sekularisme berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya berarti “zaman sekarang ini” (the present age).[1] Sedangkan secara terminology sekularisme mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi Negara. Dalam Webster Dictionary sekularisme didefiniskan sebagai “a system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship”. Yang bila diterjemahkan secara bebas berarti, sebuah system doktrin atau praktis yang menolak bentuk apapun dari keimanan dan upacara keagamaan. Jadi secara sederhana bisa dikatakan, sekularisme adalah paham pemisahan agama dari kehidupan (fashlu al-Din ‘an al-hayat), yakni pemisahan agama dari segala aspek kehidupan, yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari Negara dan politik. Agama hanya diakui eksistensinya pada urusan privat atau pribadi saja, hubungan manusia dengan Tuhannya. Tapi agama tidak boleh dibawa-bawa ke wilayah publik, yang mengatur hubungan antar manusia, seperti masalah sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.[2]
Sekuralisme merupakan pemahaman mengenai aktivitas keagamaan yang muncul pada abad pertengahan. Paham secular ini tidak sekedar muncul secara alamiah sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan dilakukan juga secara aktif oleh sejumlah kalangan. Sekularisasi otomatis akan berdampak pada pendangkalan aqidah.  
Syamsuddin Arif dalam bukunya, “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran mengatakan bahwa, “Proses sekularisasi yang terjadi seperti “alamiah” sejalan dengan perkembangan zaman, rupanya dihidup-hidupkan oleh sekelompok orang. Saya sebut “dihidup-hidupkan” karena memang kita mengetahui ada usaha aktif untuk terjadinya proses sekularisasi ini. Di tahun tujuh-puluhan kita ingat adanya “gerakan sekularisasi” dalam rangka apa yang mereka sebut “pembaharuan” Islam. Demikian pula yang terjadi akhir-akhir ini, ada “reaktualisasi” ada “kontekstualisasi”, dan sebagainya. Jadi memang ada usaha aktif. Proses sekularisasi ini amat nyata terutama dalam system pendidikan kita. Pelajaran atau pemahaman agama diberikan bukan saja dalam content terbatas, tetapi diberikannya pelajaran lain yang isinya mengaburkan atau bahkan bertentangan dengan tujuan pendidikan manusia religious. Proses sekularisasi juga menggunakan jalur publikasi dan media massa. Baik dalam bentuk buku-buku maupun tulisan. Dalam kaitan ini saya mengajak pada para intelektual muslim khususnya untuk memikirkan bagaimana menghadapi arus sekularisasi ini, baik yang terjadi secara alamiah maupun yang disengaja”.[3]
Sekularisasi dipandang sebagai tantangan yang sangat serius bagi kebangkitan Islam. upaya menanggulangi dan melawan gerakan sekularisasi harus lebih aktif dan harus menepis pemahaman sekular secara terus menerus. Dampak pemahaman sekular ini yang paling nyata adalah hilangnya sikap amr ma’ruf nahyi munkar. Karena dengan dalih hak asasi individu, orang akan semena-mena untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban agamanya dan leluasa melanggar aturan-aturan Allah. Padahal ketika kegiatan amr ma’ruf nahyi munkar ditinggalkan maka yang terjadi adalah lenyapnya keberkahan Wahyu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذا عظَّمَتْ أمتى الدنيا نُزِعَتْ منها هيبةُ الإسلامِ وإذا تَرَكَت الأمرَ بالمعروفِ والنهىَ عن المنكرِ حُرِمَتْ بركةُ الوحى وإذا تسابَّتْ أمتى سقطتْ من عينِ الله (الحكيم عن أبى هريرة) جامع الأحاديث
“Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabut kehebatan Islam; dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amr ma’ruf nahyi munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci, maka mereka akan jatuh dalam pandangan Allah.” (H.R. al-Hakim dari Abu Hurairah)

2.    Liberalisme
Istilah liberalism berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’.[4] Sebagai adjektif, kata ‘liberal’ dipakai untuk menunjuk sikap anti feudal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas lagi terbuka (open-minded). Dalam politik liberalism dimaknai sebagai system dan kecenderungan yang berlawanan dengan, dan menentang mati-matian sentralisasi dan absolutism kekuasaan. Munculnya republic-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari liberalism ini.[5]
Kehadiran paham Liberism mengajarkan tiga hal, yaitu: pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Dan ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free exercise of religion). Yang pertama berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja. “Berpikir koq dilarang,” ujar golongan ini. Yang kedua lebih dikenal dengan istilah ‘sufasta’iyah”, yang terdiri dari skeptisisme, agnostisme, dan relativisme. Sementara yang disebut terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah menisfestasi nifaq, dimana seseorang tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya sudah tidak committed lagi pada ajaran agama.[6]
Sayangnya, paham liberalism ini merembes pada pola pikir umat Islam. Menurut Nirwan Safrin, benih kemunculan liberalisasi di dunia Islam bisa ditelusuri ketika Daulah Utsmaniyah mulai mengadopsi beberapa pemikiran Barat. Ketika Kerajaan ini gagal mempertahankan beberapa wilayah kekuasaannya, para pemegang kekuasaan telah berusaha membawa masuk segala kemajuan teknologi militer Barat ke Negara mereka. Ini disebabkan adanya dugaan bahwa kekalahan mereka yang mereka alami disebabkan lemahnya kekuatan militer mereka.
Tetapi importasi alat-alat militer saja tidak cukup, karena mereka juga memerlukan tenaga-tenaga mahir untuk mengendalikan peralatan tersebut. Akhirnya merekapun mengirimkan putra terbaik mereka ke institut-institut pendidikan di Barat. Sekembalinya ke tanah air, mereka mendapati bahwa keahlian yang mereka miliki tidak dapat dipraktekkan melainkan system pendidikan yang ada juga diperbaharui. Akhirnya, dilakukan pembaruan pendidikan. Tapi itu saja tidak cukup, karena ia juga menuntut pembaruan politik. Begitulah seterusnya hingga akhirnya Kemal Attartuk membubarkan Daulah Islamiyyah ‘Utsmaniyyah dan mendirikan Negara Turki berideologikan sekularisme. Proses westernisasi pun berjalan dan segala yang berbau agama segera dihabisi. Hampir satu abad Negara Turki sekuler sudah berdiri namun hingga hari ini sebuah Turki tidak ada bedanya dengan Negara dunia ketiga yang lain, terbelakang dari segi pendidikan dan terpuruk dari sisi ekonomi.[7]
Dari kasus Turki ini kita mendapat pelajaran bahwa sekularisasi dan liberisasi ala Barat tidak akan mengundang barakah hidup, sehingga alih-alih memperoleh kemajuan, malah yang terjadi keterpurukan dan ketertinggalan dalam berbagai lini kehidupan.
3.    Pluralisme
Tantangan dakwah yang tidak kalah berbahaya selain sekularisme dan liberalism adalah pluralism. Karena pada hakikatnya ketiga istilah ini merupakan satu mata rantai yang saling menghubungkan antara satu dengan lainnya. Maksudnya, bila orang telah dihinggapi paham sekuler dan berpola piker liberal tentu sudah dapat ditebak, bahwa iapun akan menjadi pluralis dalam pandangan keberagamaannya. Ia pasti mempunya worldview yang tidak islami lagi.
Menurut Anis Malim Thoha dalam Tren Pluralisme Agama, kata pluralism berasal dari plural yang berarti jamak atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris, pluralism memiliki tiga pengertian, yaitu (1) Pengertian kegerejaan, dengan makna [i] sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, dan atau [ii] memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. (2) Pengertian filosofis, yaitu system pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. (3) Pengertian sosio-politis, yaitu suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik bercorak ras, suku, aliran, maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut.
Ketika disandingkan dengan agama, maka pengertian ‘pluralisme agama’ adalah koeksistensi (kondisi hidup bersama) antar-agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas, dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing.[8]
Namun pada tataran implikasinya, pluralism agama didasarkan pada asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Dengan kata lain, menurut mereka, agama adalah persepsi relative terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga dengan demikian setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri.[9]
Pemahan seperti ini jelas bertentangan dengan Al-Qur’an ayat 18 yang mengatakan bahwa agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam. Allah berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآَيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ .
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (Q.S. Ali Imran, ayat 19)

Dan firman-Nya di dalam ayat yang lain:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ. 
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imran, ayat 85).
Dengan demikian, jelas kesesatan dan kekeliruan pluralism agama itu. Bagi kita umat muslim, Islam harus menjadi keyakinan yang sebenar-benarnya bahwa hanya Islam agama yang benar, dan tidak sama dengan agama-agama yang lain.

4.    Aliran-Aliran
Selain kesesatan dan tantangan pemikiran seperti yang telah penulis uraikan, gerakan-gerakan penghambat dakwah dan perusak aqidah umat pun bisa berbentuk aliran-aliran (sekte-sekte) yang sengaja dibuat agar umat menjadi kacau pemikiran dan aqidahnya.




[1] Adian Husaini, Indonesia Masa Depan – Perspektif Peradaban Islam, (Jakarta: DDII), 2009, hal. 33.
[2] Siddiq Aminullah, “Mewaspadai Sekularisme dan Liberalisme”  dalam Majalah Risalah No. 8 September 2009, hal. 55.
[3] Syamsuddin Arif menguraikan sebuah teori yang pernah digagas oleh August Comte dan diamini oleh Durkheim, Weber, Marx, Freud, dan belakangan oleh Thomas Luckman dan Bryan Wilson, yang terkenal dengan ‘secularization theis’ yang mengatakan bahwa sekularisasi merupakan akibat yang tak terelakkan dari proses modernisasi. Hal ini menunjukkan benarnya pendapat yang mengatakan bahwa secara alamiah mungkin saja sekularisasi itu bisa terjadi. (Lihat Syamsuddin Arif, “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran”, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hal. 85.
[4] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hal. 76.
[5] Siddiq Aminullah, “Mewaspadai Sekularisme dan Liberalisma”, hal. 55.
[6] Syamsuddin Arif, Oreintalisme dan Diabolisme Pemikiran, hal. 79.
[7] Nirwan Safrin, “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam”, makalah dalam Islamic Worldview (Bogor: 2008), hal. 28.
[8] Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, hal. 67
[9] Adian Husaini, “Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer (Pengantar Umum)”, (Bogor: 2008), hal. 23.
Facebook Komentar:

0 comments:

Post a Comment

Wisata Aceh

Popular Posts