Akhir-akhir
ini kita sudah sangat sering membaca ataupun mendengar tiga kata tersebut
ditulis ataupun diucapkan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat muslim
Indonesia termasuk di Aceh sendiri terlebih lagi setelah berlangsungnya Parade
Aswaja beberapa waktu lalu di Banda Aceh yang dimotori oleh belasan ribu santri
dan simpatisan pecinta Ahlussunnah wa al-Jama’ah dimana para massa mengusung
berbagai poster penolakan terhadap PKI, syi’ah dan wahhabi.
Sikap
anti-pati tersebut terasa wajar diperlihatkan oleh mayoritas umat Islam di
Nusantara, mengingat tindak-tanduk PKI dengan berbagai catatan kelamnya di
negeri ini. Hal yang sama juga berlaku terhadap dua aliran sempalan dalam tubuh
umat Islam sendiri, yaitu Syi’ah dan Wahhabi yang saat ini sangat gencar
menyeruakkan pemahaman nyeleneh-nya dalam berbagai komunitas masyarakat.
Namun
sayangnya, masih ada di antara kita yang masih “terpenjara” dalam kaca mata
subjektif terkait toleransi masyarakat muslim bahkan ada pula yang terlampau
negatif dalam menilai eksistensi Ahlussunnah wa al-Jama’ah (baca; Aswaja)
sebagai iktikad legal selama ratusan tahun di Nusantara ini kalau enggan
untuk dikatakan “gagal paham” tentang apa itu Aswaja.
Satu
hal yang pasti, pemahaman PKI, syi’ah dan wahhabi telah mencoba mempengaruhi
pola pikir dan tingkah laku warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sebagai masyarakat multikultural yang sudah begitu lama beragama secara damai
di bawah azas Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
BAHAYA LATEN
KOMUNIS
Kondisi
bangsa Indonesia yang masih banyak diliputi pengangguran dan kesenjangan sosial
lainnya tetaplah meninggalkan celah untuk berkembangnya ideologi komunis
sekalipun PKI secara partai politik telah dibubarkan dan menjadi organisasi
terlarang bahkan kehadiran era reformasi justru semakin memberi peluang
lahirnya multi ideologi.
Kilas
balik sejarah telah mengungkapkan bahwa para ulama dan kaum pesantren ikut
terlibat aktif dan berperan besar dalam penumpasan ideologi PKI era 60-an baik
melalui mimbar khotbah ataupun media dakwah lainnya bahkan tidak sedikit pemuka
agama yang menjadi korban keganasan PKI.
Karenanya
sangat wajar bila dalam Parade Aswaja di Aceh kemarin, kaum sarungan ini
kembali mengusung poster penolakan terhadap PKI yang bukan hanya bertentangan
dengan hukum negara akan tetapi juga berlawanan dengan konsep Islam rahmatan
lil-‘alamin.
Berbagai
poster pengusiran PKI yang diusung dalam parade tersebut semata-mata sebagai
simbol utama penolakan terhadap ideologi komunis yang cakupannya tidak terbatas
kepada partai politik saja melainkan sebagai suatu ancaman serius terhadap
negara bahkan terhadap non-Muslim sekalipun yang hidup di bawah naungan NKRI.
SYIAH &
WAHHABI?
Syiah
dikenal sebagai sekte yang berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib kwj adalah
sosok yang berhak menjadi khalifah sepeninggalnya Nabi Muhammad Saw dengan
mengajukan alasan adanya wasiat Rasul Saw terkait kepemimpinan.
Bila
dirunut awal mulanya, Syiah terbentuk berdasarkan situasi politik yang
berkembang saat itu. Namun pada akhirnya beralih ke ranah teologis dan terpecah
menjadi beberapa sekte utama, yaitu Kaisaniah, Ghaliah/Ghuluw, Imamiah dan
Zaidiah (al-Milal wa al-Nihal; Imam al-Syahrastani). Dari keempat
golongan tersebut, hanya Syiah Zaidiah dan Imamiah yang masih mempunyai
peranan, pengaruh dan berkembang sampai masa kini.
Di
antara kedua paham terakhir tersebut, Syiah Imamiah mempunyai perbedaan
keyakinan yang cukup signifikan dengan iktikad yang dianut oleh masyarakat
muslim Nusantara dimana sekte ini mempunyai rukun iman tersendiri, mencela para
sahabat utama dan isteri Nabi Saw, menghalalkan kawin kontrak bahkan
menyesatkan muslim yang menyalahi ketentuan dari imam-imam mereka. Tentu saja,
hal ini akan berpeluang menimbulkan gesekan berlebihan dalam masyarakat yang
akhirnya menjadi sumbu perpecahan umat di negeri tercinta.
Sementara
itu, Wahhabi sendiri juga tidak kalah berbeda dengan komunis dan syiah dalam
mengaburkan fakta sejarah sebagai parasit dalam kesatuan masyarakat Muslim.
Dengan bermetamorfosis melabeli diri dengan sebutan Salafi, sekte ini
mendakwakan pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab (lhr. 1115 H/1703 M), sebagai
mujaddid pemurni tauhid.
Padahal,
tidak sedikit sejarawan dan tokoh-tokoh kelompok mereka yang begitu “vulgar”
menjelaskan pembantaian umat Islam yang dicap sebagai ahli bid’ah dan musyrik.
Konsep-beragama yang dibangun oleh para intelektual Wahhabi-Salafi justru malah
mengakibatkan penyesatan sekaligus pengkafiran terhadap keyakinan mayoritas
muslim dunia yang beriktikad Asya’irah/Maturidiah dan bermazhab empat tak
terkecuali vonis negara thagut terhadap NKRI. Karenanya, tidak dapat
dipungkiri pula bahwa dari rahim sekte inilah, lahir para “jihadis” yang
mengacaukan stabilitas keamanan negara sekaligus merusak citra Islam sebagai agama
yang damai dan penuh toleransi.
SIAPA ASWAJA?
Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang
sering disingkat Aswaja/Sunni merupakan sebutan untuk masyarakat muslim yang
berkeyakinan sesuai dengan ketentuan yang telah digarisbawahi oleh Rasulullah
Saw dan para sahabat. Para ulama tabi’in dan imam mazhab empat yang hidup
sesudah masa Nabi Saw juga beriktikad Ahlussunnah wa al-Jama’ah.
Di berbagai literatul Islam juga
disebutkan bahwa penyebutan Aswaja ini ditujukan kepada pemahaman Asya’irah dan
Maturidiah. Penyematan Aswaja terhadap kelompok ini bukanlah menggambarkan
bahwa keyakinan Aswaja lahir setelah Rasul Saw wafat, melainkan suatu hal yang
wajar bila ditelisik jasa besar kedua ulama ‘alim murabbi ini -Imam Abu
Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi- dalam penyusunan,
pengembangan sekaligus mempertahankan kembali iktikad Rasulullah Saw dan para
sahabat ketika sekte Muktazilah beserta ragam aliran sempalan lainnya menjelma
menjadi “iblis” yang begitu gigih menggoda umat Islam menyelisihi al-Qur`an,
sunnah dan konsensus ulama pada periode tersebut.
Beranjak dari hal tersebut, sudah
sepatutnya kita tidak perlu mempertahankan kekhawatiran berlebihan di dalam
pola pikir masing-masing apalagi mencoba menghubungkannya dengan gejolak
politik terkait dengan upaya mempertahankan Ahlussunnah wa al-Jama’ah sebagai platform
ideologi masyarakat muslim Indonesia -wa bil-khusus umat Islam di Aceh
sendiri- sekaligus “pengusiran” terhadap ideologi-ideologi ekstrem dan radikal
yang dapat menghancurkan tatanan beragama umat Islam yang telah berabad-abad
lamanya adem-ayem saja dengan keyakinan Aswaja dan amalan Syafi’iah-nya bahkan dengan non-muslim
dan etnis pendatang sekalipun.
Mempertahankan Syafi’iah bukanlah
mengindikasikan penolakan dan intoleran terhadap mazhab Hanafiah, Malikiah dan
Hanabilah, akan tetapi keseragaman tata cara ibadah berdasarkan satu mazhab
mayoritas akan menjadi pemersatu seluruh elemen masyarakat Muslim yang dapat
memberikan efek positif dalam merajut kembali persatuan dan kesatuan bangsa.
Alangkah
naifnya kita bila tata cara beribadah yang dilakukan -mengatasnamakan tiga
mazhab lainnya- hanya untuk dianggap alim dan intelek oleh masyarakat awam.
Seharusnya, kita tidak perlu takut untuk jujur bahwa selama ini kita hanya baru
mampu sebatas mencomot pendapat-pendapat mazhab lainnya untuk mengakomodir
keinginan pribadi bahkan seringkali menerjang qanun-qanun yang telah ditetapkan
oleh pemilik mazhab tersebut, bukan mempelajarinya secara mendalam untuk kemashalatan umat muslim.
Mudah-mudahan
semangat damai dan toleransi yang kita dengungkan sejalan dengan menghilangnya
vonis bid’ah, sesat, musyrik, kafir, ahli neraka dan klaim-klaim keji lainnya
terhadap keyakinan dan amalan mayoritas umat Islam maupun tradisi yang telah
mengakar kuat di negeri tercinta sehingga kita dapat menimbulkan rasa aman,
nyaman dan damai untuk hidup berdampingan dengan siapapun. Semoga!
Penulis adalah, Sekretaris Lajnah Bahtsul Masa-il (LBM) dan Mahasantri
Ma’had ‘Aly Pondok Pesantren MUDI Mesjid Raya, Samalanga Kabupaten Bireuen.
Email: ibnujunaidalhanafi@gmail.com.
ikut nyimak saja...semoga mendapat pencerahan baru...
ReplyDelete