KETIKA HATI HARUS MEMILIH
Muslima,
gadis lugu yang ingin ku pinang menjadi pendamping hidupku. Ia masih terbaring
dirumah sakit karena baru saja menjalani operasi akibat kanker yang
menyerangnya sejak tiga bulan lalu. Satu tahun sudah ikatan kasih ku bina
bersamanya dan hasrat hati ingin segera meminangnya. Hanya saja aku masih
menunggu waktu yang tepat untuk memberitahukan hal itu pada Abi dan Ummiku.
Jarum jam
terus berdetak menghitung waktu, tak sadar sudah hampir satu jam aku berada
diruangan itu. Tak banyak yang kulakukan, tak banyak pula kata yang keluar dari
lisanku. Aku hanya duduk terdiam membisu ikut merasakan penderitaan yang
dirasakan belahan jiwaku. Muslima sudah menjadi begian dari jiwaku. Suka dan
duka selalu kami bagi bersama walau tubuh jarang sekali berjumpa. Maklum saja,
Muslima termasuk wanita saleha yang mengerti larangan agama. Lagi pula ia lebih
banyak di Pesantren untuk belajar agama.
Tit,,tit.. handphone disaku celanaku berbunyi mengisyaratkan ada pesan
masuk. “Nanti malam kita ada jamuan makan malam di rumah Kyia Umar ya!”, Tulis
Ummi di pesan singkat itu. “Insya Allah Ummi”, jawabku membalas SMS itu sambil
menoleh ke arah jam yang ada ditanganku. Sudah pukul 5.30 sore, saatnya aku
harus pulang karena Ummi pasti menunggu. Lekas ku pamitan seraya melangkah
keluar. Ku bertekad dalam hati untuk segera bicara pada Abi dan Ummi tentang
hasrat hati ingin membina ikatan suci dengan Muslima sang pujaan hati.
Tiga
puluh menit jalanan macet menyita waktu. Sesaat ku sampai di rumah gema azan
langsung menyambutku. Selesai shalat, ku bersiap kemudian menuju ruang tamu.
Karena Abi dan Ummi duduk disitu menungguku. Ku hampiri mereka dengan hati tak
karuan, ingin ku katakana perihal itu. Namun Abi lantas mengatakan “ayo kita
berangkat sekarang agar Kiyai Umat tak lama menunngu”. Karena demikian maka
terpaksa ku urungkan niatku itu.
Dengan
mobil buntut milik ayahku, kami sisir jalanan berlubang yang memang tidak
pernah diaspal sejak dulu. Ingin ku tancap gas agar Kiyai Umar tak lama
menunggu tapi sayang jika kereta dibelakang harus makan debu. Hingga ku pilih
jalan perlahan walau lama asal tak mengganggu.
Lima
belas menit beselang kami tiba di kediaman Kiyai Umar tepat di komplek
pesantren tempat aku menimba ilmu dulu. Seketika terlintas dibenak wajah
kawan-kawan yang seperjuangan di pesantren dulu. Ada Ardi, Fikar, Amir, Lila,
Wirda yang sekelas denganku di SMA dulu dan Nisa, anak Kiyai Umar yang sudah
kuanggap seperti adikku. Saat itu Nisa masih duduk di bangku SD dan Kiyai Umar
sering memintaku untuk membantu Nisa membuat tugas yang dikasih ibu guru.
Terkadang aku juga sering diminta mengantar Nisa ke sekolah yang memang agak
jauh dari situ. Sungguh aku diperlakukan bagai bagian dari keluarga Kiyai itu.
Dengan
setelan jubah hitam dan serban Kiyai Umar ditemani Ummi Latifa didepan rumah
sudah menunggu. Mengikuti Abi dan Ummiku. Segera ku salami dan ku cium tangan
mereka sebagi tanda hormatku pada guru yang telah mendidikku. Kiyai umar segera
mempersilakan kami masuk. Aneka makanan yang terhidang di atas meja bundar itu
sudah menunggu. Kiyai Umar duduk sebelah kiri ditemani Ummi Latifa, Abi dan
Ummiku duduk sebelah kanan. Sementara aku mengisi kursi kosong diujung
bersebelahan dengan Abi dan Kiyai Umar.
Makan
malam pun dibuka canda tawa Abi dan Kiyai Umar yang mengisahkan cerita masa
lalu. Cerita saat dulu mereka sama-sama disiram ustaz Khairul karena terlambat
bangun subuh semasa di Pesantren dulu. Kiyai Umar adalah teman se-kelas Abiku
dulu saat masih di pesantren. Hanya saja karena himpitan ekonomi, Abi hanya
bertahan di pesantren selama tujuh tahun. Sementara Kiyai Umar bertahan hingga
lima belas tahun dan akhirnya pulang mendirikan pesantren sendiri.
Selesai
makan, kami dipesilahkan dudu di kursi tamu. Tiba-tiba muncul dari pintu
belakang sesosok perempuan membawa talam berisi beberapa gelas kopi. Ia
berjalan perlahan menghampiri kami. Ternyata perempuan itu adalah Nisa yang ku
kenal baik saat masih kecil dulu. Kini ia sudah beranjak dewasa. Dengan setelan
kerudung dan baju gamis berwarna cokelat muda yang dipakainya itu, Nisa
terlihat anggun laksana bidadari yang bermahkotakan permata.
“Kiyai, ini Nisa yang kita cerita dulu” Tanya Abiku pada Kiyai Umar.
“Ia ini Nisa, putriku yang kuliah dimesir itu” jawab Kiyai Umar sambil menunjuk ke arah Nisa. Ummiku pun tak tinggal diam, dengan sopan ia menyapa “Nisa, gimana kuliahnya?”, “Alhamdulillah lancar Ummi”, jawab Nisa dengan santun sambil meletakkan talam itu diatas meja. Nisa berpaling ingin kembali ke belakang tapi Ummi Latifa menahan dan mempersilahkan Nisa duduk disampingnya.
“Baiklah
langsung kita mulai acaranya” ujar Kiyai Umar yang diiyakan Abi dan Ummiku. Aku
jadi bingung dan hati bertanya-tanya. Ummi hanya bilang padaku tentang acara
makan malam, tidak lebih dari itu. “Ah paling masalah hitung buku toko
kelontong Abiku yang berkongsi dengan Kiyai Umar” kilah hatiku.
Aku
terkejut bukan kepalang saat Kiyai Umar memanggil namaku. “Sultan, malam ini
kami ingin memberitahukan padamu tentang satu hal yang telah kami simpan sejak
tiga tahun yang lalu. Sekarang sudah saatnya kalian tau, kalian sudah cukup
dewasa”.
Seketika
aku menjadi tegang, memikir apa maksud ucapan Kiyai Umar itu. Aku langsung
menoleh kea rah Abi dan Ummi. Nisa ku lihat hanya tertunduk malu, sepertinya ia
tau apa yang dimaksud Ayahnya. “Tiga tahun yang lalu Aku dan Abimu telah
sepakat untuk menjodohkanmu dengan Nisa, putriku”, jelas Kiyai Umar. “Ia
anakku, kami telah memilih Nisa sebagai calon pendampingmu” ujar Ummi
menyakinkanku.
Jantungku
berdetak kencang, badanku gemetar, nafas juga mulai tidak beraturan. Ucapan
Kiyai Umar itu benar-benar membuat pikiranku bimbang bukan kepalang. Wajahku
menunduk ke lantai, jari tanganku mencongkel-congkel kuku tanpa alasan. Tak
pernah ku sangka, tak pernah pula ku menduga, cobaan berat ini akan mengujiku.
Tanpa ku
undang bayang-bayangan Muslima hadir dalam bola mataku. Muslima yang telah lama
bersemayan di lubuk hati. Tak mampu ku khianati janji suci untuk selalu
setia sampai mati, kala suka dan duka kami kan selalu bersama. Muslima yang
selama sangat baik padaku. Ia yang selalu menasehatiku. Dan ia yang selalu
memberiku semangat saat cobaanku menghadangku. Pantaskah semua kebaikannya itu
ku balas dengan kulukai hatinya dan membuatnya kecewaan? Sungguh ku tak mampu.
Apa lagi saat ini ia sangat membutuhkan perhatianku. Hanya aku yang mampu
membuatnya tersenyum dalam menghadapi cobaan yang sedang dialaminya. Sungguh
aku tak tega.
Terlintas
dihatiku untuk berkata jujur dan ku ceritakan hal itu pada semua orang yang
hadir diruangan itu, namun ku juga tak kuasa membuat hati Nisa terluka. Aku
sadar, betapa hancurnya hati Nisa jika ia tau hal itu. Nisa yang duduk bersimpu
dihadapanku, sudah menjadi bagian dari keluargaku. Ia masih sangat lugu. Ingin
selalu ku jaga keluguannya itu walau harus ku korbankan jiwaku. Ketulusan
hatinya itu pantaskah ku coreng dengan berkata jujur bahwa ada perempuan lain
di hatiku? Sungguh ku tak tega jika ada air mata yang jatuh membasahi wajahnya
yang anggun itu karena aku.
Angin
malam berhembus pelan menusuk kalbu. Sungguh aku dihadapkan pada dua pilihan
yang tak mampu kupilih satu. Ku tak mau membuat Nisa terluka, juga ku tak ingin
membuat Muslima kecewa. Tiba-tiba hp di kantongku bergetar menandakan ada
panggilan masuk. Ku ambil hpku itu dan ku biarkan ia terus bergetar karena aku
tidak sedang memikirkan itu. Semenit berselang SMS datang dari nomor itu.
“Sultan, Muslima sedang kritis, ia memintamu untuk datang ke rumah sakit
sekarang juga, dari ibunya Muslima” tulis di SMS itu.
Tanpa
sadar handphone ditanganku jatuh ke lantai hingga membuat heran abi dan Ummiku.
Tak mampu ku tahan kesedihan hingga air mata pun berjatuhan membasahi pipi.
“Ada apa nak?”, tanya Ummi. Tanpa ku jawab lantas ku berdiri dan pamitan seraya
ku melangkah pergi. Tanpa sempat memakai sandal, ku berlari kencang mengikuti
bisikan hati.Ingin segera ku sampai ke rumah sakit mendampingi sang pujaan
hati.
Baru
beberapa meter ku sisir jalan, SMS datang dari nomor tadi. “Sultan, Muslima
telah tiada. Ia telah kembali ke hadirat-Nya sesaat yang lalu. Ia meninggalkan
pesan untukmu. Ia berujar, Sultan, aku mencintaimu karena Allah, aku juga
meninggalkanmu karena janji Allah. Ku mohon padamu, selalu ingatlah aku dalam
doamu, semoga kita dipersatukan kembali di alam sana”.
Aku tak
mampu lagi berjalan hingga kemudian aku terkapar di atas debu. Dengan air mata
terus berjatuhan, aku tak sadar hingga lisan pun bertutur kata. “Muslima,
maafkan aku yang tak sempat menemanimu, maafkan aku yang belum sempat
meminangmu. Selamat jalan Muslima. Selamat jalan kekasih hatiku”.
0 comments:
Post a Comment