# Selamat Datang di Blog Baitul Hikmah Al-Aziziyah Gampong Tufah Kecamatan Jeunieb Kabupaten Bireuen. Sharing Informasi Terkini dan Berita-Berita Unik lainnya. #
Home » , » "KETIKA HATI HARUS MEMILIH" Oleh Ikhsan Jenif

"KETIKA HATI HARUS MEMILIH" Oleh Ikhsan Jenif

Written By Blog on Tuesday, 8 September 2015 | 03:47

KETIKA HATI HARUS MEMILIH

Muslima, gadis lugu yang ingin ku pinang menjadi pendamping hidupku. Ia masih terbaring dirumah sakit karena baru saja menjalani operasi akibat kanker yang menyerangnya sejak tiga bulan lalu. Satu tahun sudah ikatan kasih ku bina bersamanya dan hasrat hati ingin segera meminangnya. Hanya saja aku masih menunggu waktu yang tepat untuk memberitahukan hal itu pada Abi dan Ummiku.
Jarum jam terus berdetak menghitung waktu, tak sadar sudah hampir satu jam aku berada diruangan itu. Tak banyak yang kulakukan, tak banyak pula kata yang keluar dari lisanku. Aku hanya duduk terdiam membisu ikut merasakan penderitaan yang dirasakan belahan jiwaku. Muslima sudah menjadi begian dari jiwaku. Suka dan duka selalu kami bagi bersama walau tubuh jarang sekali berjumpa. Maklum saja, Muslima termasuk wanita saleha yang mengerti larangan agama. Lagi pula ia lebih banyak di Pesantren untuk belajar agama.
Tit,,tit.. handphone disaku celanaku berbunyi mengisyaratkan ada pesan masuk. “Nanti malam kita ada jamuan makan malam di rumah Kyia Umar ya!”, Tulis Ummi di pesan singkat itu. “Insya Allah Ummi”, jawabku membalas SMS itu sambil menoleh ke arah jam yang ada ditanganku. Sudah pukul 5.30 sore, saatnya aku harus pulang karena Ummi pasti menunggu. Lekas ku pamitan seraya melangkah keluar. Ku bertekad dalam hati untuk segera bicara pada Abi dan Ummi tentang hasrat hati ingin membina ikatan suci dengan Muslima sang pujaan hati.
Tiga puluh menit jalanan macet menyita waktu. Sesaat ku sampai di rumah gema azan langsung menyambutku. Selesai shalat, ku bersiap kemudian menuju ruang tamu. Karena Abi dan Ummi duduk disitu menungguku. Ku hampiri mereka dengan hati tak karuan, ingin ku katakana perihal itu. Namun Abi lantas mengatakan “ayo kita berangkat sekarang agar Kiyai Umat tak lama menunngu”. Karena demikian maka terpaksa ku urungkan niatku itu.
Dengan mobil buntut milik ayahku, kami sisir jalanan berlubang yang memang tidak pernah diaspal sejak dulu. Ingin ku tancap gas agar Kiyai Umar tak lama menunggu tapi sayang jika kereta dibelakang harus makan debu. Hingga ku pilih jalan perlahan walau lama asal tak mengganggu.
Lima belas menit beselang kami tiba di kediaman Kiyai Umar tepat di komplek pesantren tempat aku menimba ilmu dulu. Seketika terlintas dibenak wajah kawan-kawan yang seperjuangan di pesantren dulu. Ada Ardi, Fikar, Amir, Lila, Wirda yang sekelas denganku di SMA dulu dan Nisa, anak Kiyai Umar yang sudah kuanggap seperti adikku. Saat itu Nisa masih duduk di bangku SD dan Kiyai Umar sering memintaku untuk membantu Nisa membuat tugas yang dikasih ibu guru. Terkadang aku juga sering diminta mengantar Nisa ke sekolah yang memang agak jauh dari situ. Sungguh aku diperlakukan bagai bagian dari keluarga Kiyai itu.
Dengan setelan jubah hitam dan serban Kiyai Umar ditemani Ummi Latifa didepan rumah sudah menunggu. Mengikuti Abi dan Ummiku. Segera ku salami dan ku cium tangan mereka sebagi tanda hormatku pada guru yang telah mendidikku. Kiyai umar segera mempersilakan kami masuk. Aneka makanan yang terhidang di atas meja bundar itu sudah menunggu. Kiyai Umar duduk sebelah kiri ditemani Ummi Latifa, Abi dan Ummiku duduk sebelah kanan. Sementara aku mengisi kursi kosong diujung bersebelahan dengan Abi dan Kiyai Umar.
Makan malam pun dibuka canda tawa Abi dan Kiyai Umar yang mengisahkan cerita masa lalu. Cerita saat dulu mereka sama-sama disiram ustaz Khairul karena terlambat bangun subuh semasa di Pesantren dulu. Kiyai Umar adalah teman se-kelas Abiku dulu saat masih di pesantren. Hanya saja karena himpitan ekonomi, Abi hanya bertahan di pesantren selama tujuh tahun. Sementara Kiyai Umar bertahan hingga lima belas tahun dan akhirnya pulang mendirikan pesantren sendiri.
Selesai makan, kami dipesilahkan dudu di kursi tamu. Tiba-tiba muncul dari pintu belakang sesosok perempuan membawa talam berisi beberapa gelas kopi. Ia berjalan perlahan menghampiri kami. Ternyata perempuan itu adalah Nisa yang ku kenal baik saat masih kecil dulu. Kini ia sudah beranjak dewasa. Dengan setelan kerudung dan baju gamis berwarna cokelat muda yang dipakainya itu, Nisa terlihat anggun laksana bidadari yang bermahkotakan permata.

“Kiyai, ini Nisa yang kita cerita dulu” Tanya Abiku pada Kiyai Umar.

“Ia ini Nisa, putriku yang kuliah dimesir itu” jawab Kiyai Umar sambil menunjuk ke arah Nisa. Ummiku pun tak tinggal diam, dengan sopan ia menyapa “Nisa, gimana kuliahnya?”, “Alhamdulillah lancar Ummi”, jawab Nisa dengan santun sambil meletakkan talam itu diatas meja. Nisa berpaling ingin kembali ke belakang tapi Ummi Latifa menahan dan mempersilahkan Nisa duduk disampingnya.
“Baiklah langsung kita mulai acaranya” ujar Kiyai Umar yang diiyakan Abi dan Ummiku. Aku jadi bingung dan hati bertanya-tanya. Ummi hanya bilang padaku tentang acara makan malam, tidak lebih dari itu. “Ah paling masalah hitung buku toko kelontong Abiku yang berkongsi dengan Kiyai Umar” kilah hatiku.
Aku terkejut bukan kepalang saat Kiyai Umar memanggil namaku. “Sultan, malam ini kami ingin memberitahukan padamu tentang satu hal yang telah kami simpan sejak tiga tahun yang lalu. Sekarang sudah saatnya kalian tau, kalian sudah cukup dewasa”.
Seketika aku menjadi tegang, memikir apa maksud ucapan Kiyai Umar itu. Aku langsung menoleh kea rah Abi dan Ummi. Nisa ku lihat hanya tertunduk malu, sepertinya ia tau apa yang dimaksud Ayahnya. “Tiga tahun yang lalu Aku dan Abimu telah sepakat untuk menjodohkanmu dengan Nisa, putriku”, jelas Kiyai Umar. “Ia anakku, kami telah memilih Nisa sebagai calon pendampingmu” ujar Ummi menyakinkanku.
Jantungku berdetak kencang, badanku gemetar, nafas juga mulai tidak beraturan. Ucapan Kiyai Umar itu benar-benar membuat pikiranku bimbang bukan kepalang. Wajahku menunduk ke lantai, jari tanganku mencongkel-congkel kuku tanpa alasan. Tak pernah ku sangka, tak pernah pula ku menduga, cobaan berat ini akan mengujiku.
Tanpa ku undang bayang-bayangan Muslima hadir dalam bola mataku. Muslima yang telah lama bersemayan di lubuk  hati. Tak mampu ku khianati janji suci untuk selalu setia sampai mati, kala suka dan duka kami kan selalu bersama. Muslima yang selama sangat baik padaku. Ia yang selalu menasehatiku. Dan ia yang selalu memberiku semangat saat cobaanku menghadangku. Pantaskah semua kebaikannya itu ku balas dengan kulukai hatinya dan membuatnya kecewaan? Sungguh ku tak mampu. Apa lagi saat ini ia sangat membutuhkan perhatianku. Hanya aku yang mampu membuatnya tersenyum dalam menghadapi cobaan yang sedang dialaminya. Sungguh aku tak tega.
Terlintas dihatiku untuk berkata jujur dan ku ceritakan hal itu pada semua orang yang hadir diruangan itu, namun ku juga tak kuasa membuat hati Nisa terluka. Aku sadar, betapa hancurnya hati Nisa jika ia tau hal itu. Nisa yang duduk bersimpu dihadapanku, sudah menjadi bagian dari keluargaku. Ia masih sangat lugu. Ingin selalu ku jaga keluguannya itu walau harus ku korbankan jiwaku. Ketulusan hatinya itu pantaskah ku coreng dengan berkata jujur bahwa ada perempuan lain di hatiku? Sungguh ku tak tega jika ada air mata yang jatuh membasahi wajahnya yang anggun itu karena aku.
Angin malam berhembus pelan menusuk kalbu. Sungguh aku dihadapkan pada dua pilihan yang tak mampu kupilih satu. Ku tak mau membuat Nisa terluka, juga ku tak ingin membuat Muslima kecewa. Tiba-tiba hp di kantongku bergetar menandakan ada panggilan masuk. Ku ambil hpku itu dan ku biarkan ia terus bergetar karena aku tidak sedang memikirkan itu. Semenit berselang SMS datang dari nomor itu. “Sultan, Muslima sedang kritis, ia memintamu untuk datang ke rumah sakit sekarang juga, dari ibunya Muslima” tulis di SMS itu.
Tanpa sadar handphone ditanganku jatuh ke lantai hingga membuat heran abi dan Ummiku. Tak mampu ku tahan kesedihan hingga air mata pun berjatuhan membasahi pipi. “Ada apa nak?”, tanya Ummi. Tanpa ku jawab lantas ku berdiri dan pamitan seraya ku melangkah pergi. Tanpa sempat memakai sandal, ku berlari kencang mengikuti bisikan hati.Ingin segera ku sampai ke rumah sakit mendampingi sang pujaan hati.
Baru beberapa meter ku sisir jalan, SMS datang dari nomor tadi. “Sultan, Muslima telah tiada. Ia telah kembali ke hadirat-Nya sesaat yang lalu. Ia meninggalkan pesan untukmu. Ia berujar, Sultan, aku mencintaimu karena Allah, aku juga meninggalkanmu karena janji Allah. Ku mohon padamu, selalu ingatlah aku dalam doamu, semoga kita dipersatukan kembali di alam sana”.
Aku tak mampu lagi berjalan hingga kemudian aku terkapar di atas debu. Dengan air mata terus berjatuhan, aku tak sadar hingga lisan pun bertutur kata. “Muslima, maafkan aku yang tak sempat menemanimu, maafkan aku yang belum sempat meminangmu. Selamat jalan Muslima. Selamat jalan kekasih hatiku”.


Facebook Komentar:

0 comments:

Post a Comment

Wisata Aceh

Popular Posts