JIKA Anda berkunjung ke gampong
(desa) Tambue, pasti Anda tidak akan menjumpai seekor pun buya (buaya). Karena
desa yang terletak di kaki Bukit Batee Geulungku, Kecamatan Simpang Mamplam,
Kabupaten Bireun itu tidak memiliki sungai atau rawa-rawa yang menjadi habitat
reptil besar berkulit keras itu. Lokasi desa ini justru terletak dekat laut,
dan di Aceh tidak pernah kita dengar buaya laut. Yang ada hanya buaya di air
tawar dan satu lagi “buaya darat”.
Sebutan buaya yang terakhir
adalah sebuah stereotype kurang bagus yang dialamatkan kepada seorang laki-laki
yang sesukanya “menerkam” perempuan. Namun ada atau tidaknya buaya di Gampong
Tambue, baik sekarang maupun dulu tidak perlu kita persoalkan, yang pasti
adagium buya tambue telah terlanjur popular, beredar luas dan sering diucapkan
orang Aceh untuk tujuan tertentu terkait kepemimpinan sosial politik yang tidak
efektif dan efisien di tengah-tengah masyarakat.
Karenanya, apa pun cerita yang
melatarbelakangi buya tambue itu tidaklah terlalu penting, yang tidak kalah
penting adalah kepopuleran filosofis buya tambue itu telah melintas batas
Kecamatan Simpang Mamplam dan Kabupaten Bireun. Bahkan telah menjadi tagline
umum masyarakat Aceh ketika mengaitkannya dengan tipikal tuna karya (tidak
produktif) seorang pemimpin yang diberikan atau mendapatkan sebuah tanggung
jawab dari rakyat namun yang bersangkutan tidak sanggup melaksanakan tanggung
jawab tersebut.
KARAKTER ‘BUYA TAMBUE’
Alkisah, konon pada zaman dulu
kala --seperti lazimnya haba jameun, ashabulkisah tidak menyebutkan waktunya--
di Gampong Tambue ada seekor buaya yang menerkam seorang laki-laki dewasa. Yang
menarik setelah menerkam, binatang melata yang dalam bahasa Latin disebut
crocodylus porosus tersebut mencampakkan tubuh laki-laki itu begitu saja dan
tidak seperti kebiasaan buaya yang menyeret (bahasa Aceh: bahue) hasil
tangkapannya ke sarang untuk dimakan.
Masyarakat yang menemukan jasad
laki-laki korban terkaman buaya itu sempat berpolemik soal mengapa buya tambue
itu tidak menyeret laki-laki itu ke sarangnya. Ada yang berpendapat, buya
tambue tidak jadi menyeret tubuh laki-laki tersebut karena buaya itu tiba-tiba
mual dan kehilangan selera makan. Maka jasad laki-laki malang itu pun
dicampakkan begitu saja.
Tapi sebagai besar masyarakat
Gampong Tambue ketika itu berpendapat lain. Menurut mereka itulah tabi’at asli
atau karakter khas buya tambue, lheuh dikap han ek dihue. Sejak saat itu sampai
hari ini istilah buya tambue lheuh dikap han ek dihue terus popular di
tengah-tengah masyarakat Aceh. Dan masyarakat Aceh langsung paham banget
subtansi dari adagiuim tersebut ketika ada yang mengatakan alah hai buya
tambue. Barangkali iklan jamu tradisional yang berbunyi “nafsu besar tenaga
kurang” juga terinspirasi dari kelakuan unik buya tambue ini.
Di tengah masyarakat Aceh hari
ini yang semakin terbuka dan kritis, ketika ada fenomena sosial seperti
seseorang yang begitu bersemangat mencalonkan diri dan kemudian terpilih
sebagai keuchik, tetapi yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi alias tidak
mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya, maka untuk menjelaskan kondisi
menyedihkan tersebut serta penegasan sikap kolektif dari masyarakat terhadap
ketidaksukaannya kepada Pak Keuchik, orang Aceh tidak perlu membuat narasi
panjang lebar dan meliuk-liuk, tapi cukup mendeskrepsikan dengan ucapan: Buya
tambue, lheuh dikap han ek dihue.
Dalam perspektif politik Aceh
terutama di kampung-kampung, ternyata ketika kalimat buya tambue, lheuh dikap
han ek dihue didedikasikan masyarakat kepada figur pimpinan tertentu, maka
pesan verbal dari masyarakat itu memiliki dua dimensi dan perspektif. Pertama,
bagi rakyat kalimat tersebut adalah suara hati nurani mereka sebagai wujud
kegundahan mereka terhadap seorang pemimpin yang telah mereka pilih dan dukung
selama ini. Bagi sebagian rakyat Aceh penyebutan buya tambue, lheuh dikap han
ek dihue juga merupakan cara mengkritik dan petisi ketidakpercayaan mereka
terhadap pemimpin yang tidak mampu mengemban kewajibannya selaku pemimpin.
Kedua, sebaliknya bagi seorang
pemimpin yang berhati nurani --dalam lingkup apa pun kepemimpinannya-- maka
ketika jargon buya tambue sudah sering diucapkan dan menjadi “nyanyian” rutin
rakyatnya, baik di warung kopi, di media sosial dan di berbagai ruang publik
lainnya, maka seharusnya sang pemimpin secara otomatis tergerak melakukan
evaluasi diri dan tentunya segera melakukan kontemplasi dalam rangka mencari
solusi cerdas guna memperbaiki keadaan. Ketika situasi dan kondisi seperti ini
mengemuka maka harus segera ada tekad bulat dan tindakan nyata dari seorang
pemimpin bahwa pemimpin itu (memang harus) memimpin, bukan sekedar penikmat
kekuasaan. Pemimpin itu eksekutor. Pemimpin itu seni melakukan eksekusi, buka
seni menunggu boh ara hanyot.
LARI DARI TANGGUNG JAWAB
Rakyat Aceh yang sudah
dicerdaskan oleh berbagai situasi sosial politik, paham benar bahwa karakter
khas buya tambue tidak linear dengan pepatah “rajin pangkal pandai, hemat
pangkal kaya”. Seorang keuchik yang tidak mampu melaksanakan tugas dan
kewajibannya termasuk tidak mampu membelanjakan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (APBDes) sama sekali, misalnya, tentu tidak ada hubungan dengan karakter
mulia bahwa yang bersangkutan adalah pemimpin yang hemat sebagai aplikasi dari
pesan moral “hemat pangkal kaya”. Justru tindakan seorang pemimpin seperti
inilah dalam uraian di atas kita sebut sebagai karakter buya tambue, lheuh
dikap han ek dihue. Sebuah karakter yang lari dari tanggung jawab. Lheuh
tanggong ka han ek jaweub.
Wah, ternyata Aceh tidak hanya
kaya kuliner dan sumber daya alam, tapi ternyata juga surplus fatsoen yang
terkait dan dapat dikaitkan dengan dinamika sosial politik yang update.
Misalnya, uet jalo toh kapai atau apa rambot, lheuh mat han ek got. Bahkan di berbagai
pelosok kampung di Aceh fatsoen-fatsoen sejenis masih sangat banyak dan mudah
kita dengarkan dalam berbagai perspektif serta kaitannya dengan multi-fenomena
sosial politik yang melingkupinya. Apalagi, dewasa ini berbagai media seperti
telivisi, radio, koran termasuk media online telah dapat dengan mudah diakses
masyarakat Aceh sampai ke sudut perkampungan di lereng-lereng bukit.
Sebagai contoh kita sebut Serambi
Indonesia, misalnya, koran terbesar di Aceh ini pagi-pagi buta atau sekitar jam
07.00 pagi sudah beredar ke sebagian besar gampong-gampong di berbagai pelosok
Aceh. Jadi, jangan pernah mengira bahwa berbagai “sandiwara” sosial politik dan
pemerintahan yang kita lakonkan di provinsi tidak diketahui dan dipahami oleh
ureung gampong. Mereka bisa saja senang, kecewa atau marah ketika tahu harapan
dan asa mereka dipenuhi atau memang dipermainkan oleh penerima kepercayaan
mereka. Mereka juga bisa mengamuk dan mengutuk si buya tambue. He... he...
he... nyan ban. Jak lom u Banda.!
Penulis adalah; Pemerhati dan penikmat
dinamika sosial politik Aceh, tinggal di Aceh Besar. Email: usamahelmadny
@gmail.com
Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2015/05/11/buya-tambue?
0 comments:
Post a Comment