# Selamat Datang di Blog Baitul Hikmah Al-Aziziyah Gampong Tufah Kecamatan Jeunieb Kabupaten Bireuen. Sharing Informasi Terkini dan Berita-Berita Unik lainnya. #
Home » » KISAH BUYA TAMBUE, DALAM PANDANGAN MANTAN KEPALA HUMAS ACEH

KISAH BUYA TAMBUE, DALAM PANDANGAN MANTAN KEPALA HUMAS ACEH

Written By Blog on Thursday, 14 May 2015 | 10:26

BUYA TAMBUE, LHEUH DIKAP HAN EK DIHUE.
JIKA Anda berkunjung ke gampong (desa) Tambue, pasti Anda tidak akan menjumpai seekor pun buya (buaya). Karena desa yang terletak di kaki Bukit Batee Geulungku, Kecamatan Simpang Mamplam, Kabupaten Bireun itu tidak memiliki sungai atau rawa-rawa yang menjadi habitat reptil besar berkulit keras itu. Lokasi desa ini justru terletak dekat laut, dan di Aceh tidak pernah kita dengar buaya laut. Yang ada hanya buaya di air tawar dan satu lagi “buaya darat”.
Sebutan buaya yang terakhir adalah sebuah stereotype kurang bagus yang dialamatkan kepada seorang laki-laki yang sesukanya “menerkam” perempuan. Namun ada atau tidaknya buaya di Gampong Tambue, baik sekarang maupun dulu tidak perlu kita persoalkan, yang pasti adagium buya tambue telah terlanjur popular, beredar luas dan sering diucapkan orang Aceh untuk tujuan tertentu terkait kepemimpinan sosial politik yang tidak efektif dan efisien di tengah-tengah masyarakat.
Karenanya, apa pun cerita yang melatarbelakangi buya tambue itu tidaklah terlalu penting, yang tidak kalah penting adalah kepopuleran filosofis buya tambue itu telah melintas batas Kecamatan Simpang Mamplam dan Kabupaten Bireun. Bahkan telah menjadi tagline umum masyarakat Aceh ketika mengaitkannya dengan tipikal tuna karya (tidak produktif) seorang pemimpin yang diberikan atau mendapatkan sebuah tanggung jawab dari rakyat namun yang bersangkutan tidak sanggup melaksanakan tanggung jawab tersebut.

KARAKTER ‘BUYA TAMBUE’
Alkisah, konon pada zaman dulu kala --seperti lazimnya haba jameun, ashabulkisah tidak menyebutkan waktunya-- di Gampong Tambue ada seekor buaya yang menerkam seorang laki-laki dewasa. Yang menarik setelah menerkam, binatang melata yang dalam bahasa Latin disebut crocodylus porosus tersebut mencampakkan tubuh laki-laki itu begitu saja dan tidak seperti kebiasaan buaya yang menyeret (bahasa Aceh: bahue) hasil tangkapannya ke sarang untuk dimakan.
Masyarakat yang menemukan jasad laki-laki korban terkaman buaya itu sempat berpolemik soal mengapa buya tambue itu tidak menyeret laki-laki itu ke sarangnya. Ada yang berpendapat, buya tambue tidak jadi menyeret tubuh laki-laki tersebut karena buaya itu tiba-tiba mual dan kehilangan selera makan. Maka jasad laki-laki malang itu pun dicampakkan begitu saja.
Tapi sebagai besar masyarakat Gampong Tambue ketika itu berpendapat lain. Menurut mereka itulah tabi’at asli atau karakter khas buya tambue, lheuh dikap han ek dihue. Sejak saat itu sampai hari ini istilah buya tambue lheuh dikap han ek dihue terus popular di tengah-tengah masyarakat Aceh. Dan masyarakat Aceh langsung paham banget subtansi dari adagiuim tersebut ketika ada yang mengatakan alah hai buya tambue. Barangkali iklan jamu tradisional yang berbunyi “nafsu besar tenaga kurang” juga terinspirasi dari kelakuan unik buya tambue ini.
Di tengah masyarakat Aceh hari ini yang semakin terbuka dan kritis, ketika ada fenomena sosial seperti seseorang yang begitu bersemangat mencalonkan diri dan kemudian terpilih sebagai keuchik, tetapi yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi alias tidak mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya, maka untuk menjelaskan kondisi menyedihkan tersebut serta penegasan sikap kolektif dari masyarakat terhadap ketidaksukaannya kepada Pak Keuchik, orang Aceh tidak perlu membuat narasi panjang lebar dan meliuk-liuk, tapi cukup mendeskrepsikan dengan ucapan: Buya tambue, lheuh dikap han ek dihue.
Dalam perspektif politik Aceh terutama di kampung-kampung, ternyata ketika kalimat buya tambue, lheuh dikap han ek dihue didedikasikan masyarakat kepada figur pimpinan tertentu, maka pesan verbal dari masyarakat itu memiliki dua dimensi dan perspektif. Pertama, bagi rakyat kalimat tersebut adalah suara hati nurani mereka sebagai wujud kegundahan mereka terhadap seorang pemimpin yang telah mereka pilih dan dukung selama ini. Bagi sebagian rakyat Aceh penyebutan buya tambue, lheuh dikap han ek dihue juga merupakan cara mengkritik dan petisi ketidakpercayaan mereka terhadap pemimpin yang tidak mampu mengemban kewajibannya selaku pemimpin.
Kedua, sebaliknya bagi seorang pemimpin yang berhati nurani --dalam lingkup apa pun kepemimpinannya-- maka ketika jargon buya tambue sudah sering diucapkan dan menjadi “nyanyian” rutin rakyatnya, baik di warung kopi, di media sosial dan di berbagai ruang publik lainnya, maka seharusnya sang pemimpin secara otomatis tergerak melakukan evaluasi diri dan tentunya segera melakukan kontemplasi dalam rangka mencari solusi cerdas guna memperbaiki keadaan. Ketika situasi dan kondisi seperti ini mengemuka maka harus segera ada tekad bulat dan tindakan nyata dari seorang pemimpin bahwa pemimpin itu (memang harus) memimpin, bukan sekedar penikmat kekuasaan. Pemimpin itu eksekutor. Pemimpin itu seni melakukan eksekusi, buka seni menunggu boh ara hanyot.

LARI DARI TANGGUNG JAWAB
Rakyat Aceh yang sudah dicerdaskan oleh berbagai situasi sosial politik, paham benar bahwa karakter khas buya tambue tidak linear dengan pepatah “rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya”. Seorang keuchik yang tidak mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya termasuk tidak mampu membelanjakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) sama sekali, misalnya, tentu tidak ada hubungan dengan karakter mulia bahwa yang bersangkutan adalah pemimpin yang hemat sebagai aplikasi dari pesan moral “hemat pangkal kaya”. Justru tindakan seorang pemimpin seperti inilah dalam uraian di atas kita sebut sebagai karakter buya tambue, lheuh dikap han ek dihue. Sebuah karakter yang lari dari tanggung jawab. Lheuh tanggong ka han ek jaweub.
Wah, ternyata Aceh tidak hanya kaya kuliner dan sumber daya alam, tapi ternyata juga surplus fatsoen yang terkait dan dapat dikaitkan dengan dinamika sosial politik yang update. Misalnya, uet jalo toh kapai atau apa rambot, lheuh mat han ek got. Bahkan di berbagai pelosok kampung di Aceh fatsoen-fatsoen sejenis masih sangat banyak dan mudah kita dengarkan dalam berbagai perspektif serta kaitannya dengan multi-fenomena sosial politik yang melingkupinya. Apalagi, dewasa ini berbagai media seperti telivisi, radio, koran termasuk media online telah dapat dengan mudah diakses masyarakat Aceh sampai ke sudut perkampungan di lereng-lereng bukit.
Sebagai contoh kita sebut Serambi Indonesia, misalnya, koran terbesar di Aceh ini pagi-pagi buta atau sekitar jam 07.00 pagi sudah beredar ke sebagian besar gampong-gampong di berbagai pelosok Aceh. Jadi, jangan pernah mengira bahwa berbagai “sandiwara” sosial politik dan pemerintahan yang kita lakonkan di provinsi tidak diketahui dan dipahami oleh ureung gampong. Mereka bisa saja senang, kecewa atau marah ketika tahu harapan dan asa mereka dipenuhi atau memang dipermainkan oleh penerima kepercayaan mereka. Mereka juga bisa mengamuk dan mengutuk si buya tambue. He... he... he... nyan ban. Jak lom u Banda.!

Penulis adalah; Pemerhati dan penikmat dinamika sosial politik Aceh, tinggal di Aceh Besar. Email: usamahelmadny @gmail.com

Sumber:  http://aceh.tribunnews.com/2015/05/11/buya-tambue?
Facebook Komentar:

0 comments:

Post a Comment

Wisata Aceh

Popular Posts