BEBERAPA hari
yang lalu penulis membaca satu opini yang sangat menarik dari Dr Aslam Nur
(AN). Opini yang berjudul “Mazhab Syafi’i atau Syafi’iyyah” (Serambi,
26/9/2014) itu bertujuan untuk menanggapi Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang
Pokok-Pokok Syariat Islam khususnya mengenai Penyelenggaraan Ibadah di Aceh
dengan memprioritaskan amalan menurut Mazhab Syafi’i. Dalam opini tersebut, AN
mengusulkan agar kandungan raqan itu diganti dengan pengamalan ibadah yang
berlandaskan Alquran dan As-Sunnah Al-Shahihah.
Usulan ini
sangat menarik, mengingat Alquran dan Sunnah adalah sumber hukum utama dalam
Islam. Bahkan, semua para mujtahid juga menjadikan Alquran dan sunnah sebagai
dasar hukum beserta ijma’ (konsensus Ulama) dan qiyas. Namun, ada satu
pertanyaan yang ingin penulis tanyakan terkait usulan ini, Alquran dan Sunnah
menurut pemahaman siapa? Menurut pemahaman sahabatkah?
Para sahabat
pun ternyata juga berbeda dalam menafsirkan pesan Rasulullah saw mengenai
shalat Ashar di perkampungan Yahudi Bani Quraidhah dan masih banyak perbedaan
lain di antara mereka dalam memahami Alquran dan Sunnah. Atau mengikuti Alquran
dan Sunnah menurut pemahaman ulama salaf, tapi ulama salaf yang mana? Para
ulama salaf telah berbeda dalam memahami beberapa ayat Alquran. Atau Alquran
dan Sunnah menurut pemahaman Ulama Salafi/Wahabi? Ternyata mereka juga berbeda
pandangan dalam menafsirkan Alquran, bahkan pemahaman pengikut Wahabi juga
banyak yang bertentangan dengan pendapat Ulama Wahabi itu sendiri.
Dalam masalah
hadiah pahala, misalnya, Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa menyebutkan: “Adapun
membaca Alquran, sedekah dan kebaikan-kebaikan lainnya tidak ada pertentangan
di antara ulama Sunnah Waljamaah tentang sampainya pahala ibadah yang bersifat
harta tersebut, sama juga seperti sedekah dan memerdekakan budak sebagaimana
sampainya pahala doa, istighfar, shalat jenazah dan berdoa di makamnya.
Perbedaan hanya berkisar pada ibadat yang bersifat fisik seperti puasa, shalat
dan membaca Alquran. Pendapat yang benar, semua itu sampai kepada mayit.”
(Majmu’ Fatawa, 24:366).
Pendapat
senada juga disampaikan oleh Ibnu Utsaimin dalam al-Majmu’ al-Tsamin min Fatawa
ibnu Utsaimin, “Pendapat yang rajih (unggul) sesungguhnya orang yang mati dapat
bermanfaat dengan kiriman pahala tersebut. Seseorang boleh membaca Alquran atau
surat Al-Fatihah dengan niat untuk si fulan atau si fulanah dan kaum muslimin,
baik kerabatnya atau bukan” (al-Majmu’ al-Tsamin, 2:115).
Siapa harus diikuti?
Hal senada
juga juga disampaikan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab Ar-Ruh halaman
258 dan Ibnu Abi Al-Izz Al-Hanafi dalam Syarh al-Aqidah al-Thahawiyyah juz 2
halaman 664. Namun, persoalan ini sering dianggap bid’ah oleh pengikut Wahabi
sendiri. Nah, di sini kita juga perlu menanyakan, Alquran dan Sunnah menurut
siapa yang seharusnya diikuti? Pengikut Wahabi atau ulama dari kalangan Wahabi
itu sendiri?
Ternyata
Ulama Wahabi juga berbeda pendapat dalam banyak hal. Sebagai contoh, Syekh
Albani dalam Safinatussalah-nya memfatwakan hukum meletakkan tangan kanan di
atas tangan kiri ketika berdiri setelah ruku’ adalah sunnah. Sedangkan Syekh
bin Baz dan Ibnu Utsaimin menganggap ini adalah bid’ah yang sesat.
Begitu juga
mengenai azan dua kali pada hari jumat, al-Utsaimin dalam Syarh Aqidah
al-Wasithiyyah menyinggung Albani dengan sangat keras dan menilainya tidak
memiliki pengetahuan agama sama sekali karena mem-bid’ah-kan sunnahnya
Sayyidina Utsman ra (lihat; Syarh Aqidah al-Wasithiyyah, Dar al-Tsurayya, hal.
638). Maka, kalau kita mengikuti Alquran dan Sunnah menurut Ulama Wahabi, Ulama
Wahabi mana yang semestinya kita ikuti?
Kita sepakat
bahwa semua amalan harus berlandaskan Alquran dan Sunnah, namun tentu saja kita
harus mengikuti Alquran dan Sunnah sesuai dengan apa yang dipahami oleh
ahlinya. Tidak mungkin setiap umat Islam dengan berbagai kapasitas keilmuannya
diberikan wewenang untuk ber-ijtihad, karena bila urusan ijtihad dilakukan
bukan oleh ahlinya, kemungkinan besar kesimpulan hukumnya malah menyimpang dari
tuntunan Alquran dan Sunnah itu sendiri. Maka, di sinilah pentingnya bermazhab.
Bermazhab
bukan untuk memunculkan perbedaan, tetapi justeru untuk meminimalisir
terjadinya perbedaan yang semakin luas seandainya setiap muslim ikut
berijtihad. Bermazhab bukan untuk meninggalkan Alquran dan Sunnah, tetapi
justeru untuk mengamalkan Alquran dan Sunnah menurut penafsiran ahlinya.
Bermazhab bukan karena menganggap para mujtahid ma’shum, tetapi karena sadar
akan keterbatasan ilmu dan kemampuan diri dalam memahami bahasa Alquran yang
sarat dengan nilai sastra.
Barangkali
tidak ada yang tidak kagum dengan ilmunya Imam al-Ghazali, Imam Nawawi dan Imam
Bukhari, tetapi mereka masih menyerahkan urusan ber-ijtihad kepada Imam
Syafi’i. Ini pertanda bahwa urusan ber-ijtihad bukanlah perkara mudah yang
mampu dilakukan oleh setiap orang.
Sebenarnya
imam mujtahid tidak hanya Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
bin Hambal, masih banyak mujtahid lain di kalangan sahabat dan salaf al-shalih.
Akan tetapi, hanya empat orang Imam ini yang mazhabnya terkodifikasi dengan
baik (mudawwan) dan diriwayatkan terus menerus oleh murid-muridnya. Maka, hanya
merekalah yang layak diikuti saat ini karena mazhab yang lain tidak mudawwan.
Perbedaan pendapat
Dalam opini
yang ditulis AN, ia merisaukan adanya perbedaan pandangan dalam mazhab,
sehingga tidak ada suatu kepastian siapa yang semestinya diikuti saat ulama
mazhab saling berbeda. Ia mengusulkan agar Raqan Pokok-Pokok Syariat Islam itu
diubah dan kemudian umat Islam kembali kepada Alquran dan Hadis sebagai landasan
ibadahnya untuk menghindari perbedaan di atas. Kalau dalam konteks mazhab saja
bisa muncul perbedaan pendapat, maka bagaimana kalau semua umat Islam dengan
berbagai latar belakang keilmuannya kembali kepada Alquran dan Sunnah secara
langsung, bukankah perbedaan itu semakin luas?
Kita tidak
dapat memungkiri adanya perbedaan pendapat dalam mazhab, namun semua itu
mempunyai mekanisme tersendiri dalam fikih Mazhab yang diatur dalam bab Maratib
al-Khilaf yaitu tatacara beramal saat adanya perbedaan pendapat dan pendapat
siapa yang mesti diprioritaskan. Jadi kita tidak perlu khawatir dengan
perbedaan ini, karena para ulama telah sejak dini memberikan solusi bagi
pengikut mazhab dalam menghadapi perbedaan-perbedaan di dalamnya.
Penulis
menilai, Raqan mengenai penyelenggaraan ibadah dengan memprioritaskan Mazhab
Syafi’i untuk masyarakat Aceh adalah suatu hal yang mutlak dibutuhkan. Kalau
tidak, pelaksanaan ibadah akan menjadi kacau karena setiap orang punya tata
cara ibadahnya sendiri-sendiri sesuai pemahaman mereka terhadap kandungan
Alquran dan Sunnah. Apalagi, akhir-akhir ini aliran sesat semakin mudah masuk
ke Aceh, karena tidak ada satu aturan yang jelas yang mengatur penyelenggaraan
ibadah.
Lautan hukum
Allah sangatlah luas, bila setiap umat hingga kalangan awam memberanikan diri
untuk berenang sendirian tanpa memiliki perbekalan yang lengkap, kebanyakan
dari mereka akan tenggelam di dalamnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita
berlabuh bersama kapal penyelamat yang dinahkodai oleh imam mu’tabarah lewat
mazhab yang telah mereka kodifikasikan sebagai “kapal pesiar” untuk
mengantarkan pengikutnya ke syurga. Bermazhab bukan meninggalkan Alquran,
tetapi bermazhab justeru mengamalkan Alquran dengan arti yang sesungguhnya.
Demikian, semoga bermanfaat!
* Tgk. Muhammad Iqbal
Jalil, Ketua Forum Santri
Pidie dan Anggota Lajnah Pengembangan Dakwah (LPD) MUDI Mesra. Email:
m.iqbaljalil@gmail.com
Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2014/10/02/alquran-dan-sunnah-menurut-pemahaman-siapa
0 comments:
Post a Comment