# Selamat Datang di Blog Baitul Hikmah Al-Aziziyah Gampong Tufah Kecamatan Jeunieb Kabupaten Bireuen. Sharing Informasi Terkini dan Berita-Berita Unik lainnya. #
Home » » TRADISI SOSIAL MASYARAKAT MENJELANG MASUKNYA ISLAM DI NUSANTARA

TRADISI SOSIAL MASYARAKAT MENJELANG MASUKNYA ISLAM DI NUSANTARA

Written By Blog on Tuesday 17 March 2015 | 07:23

Sebelum Islam masuk ke bumi Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, sosial dan budaya di Nusantara yang berkembang. Semua itu tidak terlepas dari pengaruh sebelumnya, yaitu kebudayaan nenek moyang (animisme dan dinamisme), dan Hindu Budha yang berkembang lebih dulu dari pada Islam.
Hindu Budha lebih dulu masuk di Nusantara daripada Islam. Islam masuk ke Nusantara bisa dengan mudah dan lebih mudah diterima masyarakat pada waktu itu dengan berbagai alasan. 
Pertama, situasi politik dan ekonomi kerajaan Hindu, Sriwijaya dan Majapahit yang mengalami kemunduran. Hal ini juga disebabkan karena perluasan China di Asia Tenggara, termasuk Nusantara. Akibat dari kemunduran situasi politik. adipati-adipati pesisir yang melakukan perdagangan dengan pedagang muslim. Dan akhirnya mereka menjadi penerima Agama Islam. Situasi politik seperti itu mempengaruhi masuknya Islam ke Nusantara lebih mudah. Karena kekacauan politik, mengakibatkan kacauan pada budaya dan tradisi masyarakat.
Kedua, kekacauan budaya ini digunakan oleh mubaligh-mubaligh dan pedagang muslim yang sudah mukim untuk menjalin hubungan yang lebih dekat. Yaitu melalui perkawinan. Akibatnya pada awal Islam di Nusantara sudah ada keturunan Arab atau India. Misalnya di Surakarta terdapat perkampungan Arab, tepatnya di para Kliwon (kampung Arab).
Setelah masuknya Islam di Nusantara, terbukti budaya dan ajaran Islam mulai berkembang. Hal ini tidak bisa terlepas dari peran Mubaligh-mubaligh dan peran Walisongo di Jawa. Bukti bahwa ajaran Islam sudah dikerjakan masyarakat Nusantara. Kesejahteraan dan kedamaian tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan tradisi Nusantara atau Jawa. Akulturasi budaya ini tidak mungkin terelakkan setelah terbentuknya keluarga muslim yang merupakannucleus komunitas muslim dan selanjutnya memainkan peranan yang sangat besar dalam penyebaran Islam. Akulturasi budaya ini semakin menemukan momentumnya saat para pedagang ini menyunting keluarga elit pemerintahan atau keluarga kerajaan yang berimplikasi pada pewarisan “kekuatan politik” di kemudian hari.[1]
Di saat para pedagang dan kemunitas muslim sedang hangat memberikan sapaan sosiologis terhadap komunitas Nusantara dan mendapatkan respon yang cukup besar sehingga memiliki dampak politik yang semakin kuat, di Jawa kerajaan Majapahit pada abad ke-14 mengalami kemunduran dengan ditandai candra sangkala, sirna ilang kertaning bumi (1400/1478 M) yang selanjutnya runtuh karena perang saudara. Setelah Majapahit runtuh daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara, dan Kudus mendeklarasikan kemerdekaannya kemudian semakin bertambah kokoh dan makmur.
Dengan basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian mendaulat Raden Fatah yang diakui sebagai putra keturunan Raja Majapahit menjadisultan kesultanan Demak yang pertama. Demak sebagai “simbol kekuatan politik” hasil akulturasi budaya lokal dan Islam menunjukkan dari perkawinan antara pedagang Muslim dengan masyarakat lokal sekaligus melanjutkan “warisan” kerajaan Majapahit yang dibangun di atas tradisi budaya Hindu-Budhis yang kuat sehingga peradaban yang berkembang terasa bau mistik panteistiknya dan mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke 15 dan 16. Hal ini bisa ditemukan dalam karya sastra Jawa yang menunjukkan dimensi spiritual mistik yang kuat.[3]
Islam yang telah berinteraksi dengan budaya Arab, India, dan Persia dimatangkan kembali dengan budaya Nusantara yang animis-dinamis dan Hindu-Budhis. Jika ditarik pada wilayah lokal Jawa masyarakat muslim Jawa menjadi cukup mengakar dengan budaya Jawa Islam yang memiliki kemampuan yang kenyal (elastis) terhadap pengaruh luar sekaligus masyarakat yang mampu mengkreasi berbagai budaya lama dalam bentuk baru yang labih halus dan berkualitas.[4]
Asimilasi budaya dan akomodasi pada akhirnya menghasilkan berbagai varian keislaman yang disebut dengan Islam lokal yang berbeda dengan Islam dalam great tradition. Fenomena demikian bagi sebagian pengamat memandangnya sebagai penyimpangan terhadap kemurnian Islam dan dianggapnya sebagai Islam sinkretis. Meskipun demikian, banyak peneliti yang memberikan apresiasi positif dengan menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan artikulasi Islam di wilayah lain.
Untuk itu gejala ini merupakan bentuk kreasi umat dalam memahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri sekaligus akan memberikan kontribusi untuk memperkaya mozaik budaya Islam. Proses penerjemahan ajaran Islam dalam budaya lokal memiliki ragam varian seperti ritual suluk bagi masyarakat Minangkabau[5] yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, sekaten di Jogjakarta, lebaran di Indonesia, dan lain sebagainya.
Persinggungan Islam di Jawa dengan budaya kejawen dan lingkungan budaya istana (Majapahit) mengolah unsur-unsur hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup meskipun lambat laun penyebaran dan tradisi keislaman semakin jelas hasilnya. Budaya Islam masih sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu.
Penolakan raja Majapahit tidak terhadap agama baru, membuat Islam tidak mudah masuk lingkungan istana. Untuk itu para dai agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka.[6] Dalam kerja sosial dan dakwahnya, para Wali Songo juga merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif terhadap budaya tersebut. Di antara mereka yang sering disebut adalah Sunan Kalijaga.[7]
Demoralisasi yang terjadi di Jawa karena perang saudara tersebut, kalangan muslim, lewat beberapa tokohnya seperti Sunan Kalijaga mampu menampilkan sosok yang serba damai dan rukun. Jawa sebagai negeripertanian yang amat produktif, damai, dan tenang. Sikap akomodatif yang dilakukan oleh para dai ini melahirkan kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan simpati bagi masyarakat Jawa. Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut, menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap perilaku penduduknya. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Syahrastani, dalam al-Milal wa al-Nihal yang menyebutkan ada pengaruh posisi atau letak geografis dan suku bangsa terhadap pembentukan watak atau karakter penduduknya.
Faktor fisiologis mempengaruhi watak psikologis dan sosialnya. Begitu juga letak geografis, tingkat kesuburan, dan kesejukan pulau Jawa akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku dan bersikap. Siapapun yang ingin sukses di Jawa ia harus memperhatikan karakteristik ini sehingga strategi dan pendekatan yang digunakan bisa berjalan dengan baik dan efektif.
Akulturasi dan adaptasi keislaman orang Jawa yang didominasi keyakinan campuran mistik konsep Hindu-Budha disebut kejawen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara penyebaran Islam melalui pondok pesantren khususnya di daerah pesisir utara belum mampu menghilangkan semua unsur mistik sehingga tradisi Islam kejawen tersebut masih bertahan. Pemeluk kejawen dalam melakukan berbagai aktivitasnya dipengaruhi oleh keyakinan, konsep pandangan, dan nilai-nilai budaya[8] yang berbeda dengan para santri yang mengenyam pendidikan Islam lebih murni.




[1] Azyumardi Azra, “Islam Nusantara”, (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), hal. 13
[2] Ahmad Mansur Suryanegara, “Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia”, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 75-94
[3] Mahmudi, Wirid Mistik Hidayat Jati, (Yogyakarta: Pura Pustaka, 2005), hal. 15-16
[4] Ridin Sofwan, et. al., Islam Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hal 18
[5] Sri Denti, Mumarasat al-Suluk bi Minangkabau: Tatbiq al-Ta’lim al-Islamiyah ‘ala al-Thariqah al-Mahalliyah, Dalam Studia Islamika Volume 11, Number 2, 2004 hal. 345 – 360
[6] Ridin Sofwan, et. …..,  hal. 32-33
[7] Nurcholish Madjid, “Islam Doktrin dan Peradaban”, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 542
[8] Ridin Sofwan, et. Al…., hal. 32-33
Facebook Komentar:

0 comments:

Post a Comment

Wisata Aceh

Popular Posts