A.
Pengertian Ulama
Dalam
bahasa Arab kata Ulama’ merupakan bentuk jamak dari ’Aalim atau ’Aliim. Oleh karena itu
Ulama biasanya diterjemahkan: ”Orang-orang yang amat luas ilmunya”. Di dalam Al
Qur’an disebutkan:
إنمايخشى الله من عبده
العلمؤ (فاطر : ۲۸).
Artinya
: ”Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah
Ulama”. (QS. Al-Fathir : 28).
Para
mufassir Islam mengatakan:
1.
Imam ibnu Katsir dalam tafsirnya memberikan
makna ayat tersebut dengan;[1]
العالم من خشي الرحمن
ورغب فيما رغب الله فيه وزهد فيما سخط الله
Artinya
: ”Orang alim adalah orang yang merasatakut (khasyyah) kepada
Allah, senang terhadap hal-hal yang disenangi Allah serta menghindarkan diri
dari segala hal yang mendatangkan murka Allah”.
2. Imam as Suyuti[2]
العالم من خشي الله
Artinya : ”Orang alim adalah orang yang
merasa takut (khasyyah)kepada Allah”
Dari
dua pandangan mufassir tersebut menekankan pengertian ulama yang dimaksud dalam
ayat firman Allah lebih orang yang memiliki ilmu dan dengan ilmu tersebut ia
merasa khauf atau khassyah (takut) terhadap Allah Swt dan senang terhadap apa
yang disenangi Allah Swt. Dengan kata lain, ciri-ciri seorang ulama dia adalah
orang yang berilmu dan mengamalkannya atau disebut dengan taqwa. Taqwa itu
sediri hanya muncul dari buah ilmunya yang luas, bukan dari spealisasi jenis
ilmu yang ia miliki.
العالم بالله وبأمر الله
الﺬي يخشى الله ويعلم الحدود والفرئض
Artinya:
”Orang yang alim kepada Allah dan urusan Allah adalah orang yang takwa
kepada Allah dan mengetahui batas-batas serta hal yang difardlukan”
Dalam
kenyataannya memang ada rasa khasyyah dan takwa yang tumbuh bukan atas dasar
ilmu yang luas. Akan tetapi, takwa seperti ini bukanlah ketakwaan
Ulama’. Imam Ghazali mengatakan:[3]
وعالم بالله لابأمرالله
ولابأيام الله وهم عموم المؤمنين
Artinya
: ”Orang yang alim tentang Allah tetapi tidak alim dengan perentah
Allah (tidak mengamalkan ilmunya), juga tidak alim tentang hari-hari Allah
(tidak melaksanakan kewajiban), mereka adalah orang mukmin pada umumnya”
B.
Posisi Ulama Dalam Masyarakat Jawa
Sebagian besar
masyarakat di daerah Jawa dan Madura menganggap kiai merupakan sosok
yang sangat berpengaruh, kharismatik, berwibawa dan peduli dengan derita
umatnya. Selain itu, sebagian besar kiai di daerah Jawa dan Madura
adalah pendiri dari pondok pesantren yang berada ditengah-tengah masyarakat.
Maka tak heran sosok kiai di masyarakat sangat dihormati, dikagumi dan
dicintai oleh masyarakatnya.
Hal ini terjadi karena tidak sedikit para kiai
selalu peduli, bermasyarakat dan memperhatikan umat atau rakyat kecil. Dan
banyak juga kiai dalam masyarakat sering dijadikan tempat curhat segala
persoalan yang terjadi, mulai dari masalah minta nama anaknya, pertanian,
ekonomi, sosial,
politik, budaya, agama hingga persoalan jodoh atau nasib. Dapat dikatakan sosok
kiai dalam strata sosial masyarakat termasuk berada pada strata sosial
yang tinggi, hal ini terjadi tidak lepas dari peranannya yang sangat besar
untuk memberdayakan masyarakat pada lingkungannya.
Sejak Islam mulai
tersebar di pelosok Jawa, terutama sejak abad 13
dan 14 Masehi, para kiai sudah mendapatkan status sosial yang tinggi
dalam kalangan masyarakat. Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, sosok kiai
mempunyai daya tawar tinggi. Walaupun sebagian besar kiai itu
tinggal di desa yang jauh dari pusat kekuasaan dan pemerintahan, namun mereka
merupakan bagian dari kelompok elite masyarakat
yang disegani sekaligus berpengaruh baik secara politik,
ekonomi, maupun sosial budaya. Tidak jarang suara kritis dari kiai
dianggap sebagai tindakan makar terhadap Belanda.
Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Dr. Endang Turmudi, yang ditulis dalam bukunya “Perselingkuhan
Kiai dan Kekuasan” bisa disimpulkan bahwa penghormatan (ta’zim) masyarakat
terhadap kiai bukan hanya sebatas pada diri kiai semata bahkan sampai kepada
keturunannya walau keturunannya minim ilmu pengetahuan agama, hal tersebut
sangat berbeda denga daerah lain.
C.
Stratifikasi Sosial
Sertifikasi sosial berasal dari kiasan yang
menggambarkan keadaan kehidupan masyarakat. Menurut Pitirim A. Sorokin,
sertifikasi sosial (social stratifikaction) adalah perbedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya
adalah adanya kelas-kelas sosial lebih tinggi dan kelas sosial yang lebih
rendah . Selanjutnya, Sorokin menjelaskan bahwa dasar dan inti lapisan sosial
dalam masyarakat disebabkan tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak,
kewajiban, dan tanggung jawab nilai sosial Siantar anggota masyarakat. Pitirim
A. Sorokin mengatakan pula bahwa sistem lapisan merupakan ciri yang tetap dan
umum dalam setiap masyarakat teratur. Barang siapa memiliki sesuatu yang
berharga dalam jumlah banyak maka akan dianggap memiliki kedudukan dilapisan
atas. Bagi mereka yang hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki
sesuatu yang berharga maka akan dipandang memiliki kedudukan rendah.[4]
Dari penjelasan tersebut dapat kita analisis
bahwa ada
tiga aspek yang merupakan karakteristik stratifikasi sosial, yaitu perbedaan
kemampuan, perbedaan gaya hidup, serta perbedaan hak dan akses dalam
pemanfaatan sumber daya.
a.
Perbedaan
kemampuan dan kesanggupan
Anggota masyarakat yang menduduki strata tinggi tentu
memiliki kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan anggota
masyarakat di bawahnya.
b.
Perbedaan
Gaya Hidup
Seorang direktur perusahaan dituntut selalu berpakaian
rapi. Biasanya mereka juga melengkapi penampilan dengan aksesori-aksesori lain
untuk menunjang kemantapan penampilan seperti memakai dasi, bersepatu mahal,
memakai pakaian merek terkenal dan perlengkapan lain yang sesuai dengan
statusnya.
c.
Perbedaan
Hak dan Akses dalam Pemanfaatan Sumber Daya
Seseorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan makin
banyak hak dan fasilitas yang diperolehnya. Sementara itu seseorang yang tidak
menduduki jabatan apapun tentu saja hak dan fasilitas yang mampu dinikmati akan
makin kecil.
Lahirnya karakteristik seperti yang disebutkan dikarenakan setiap masyarakat mempunyai
sesuatu yang dihargai, bisa berupa kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi,
keaslian keanggotaan masyarakat dan sebagainya. Selama manusia membeda-bedakan
penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, pasti akan menimbulkan
lapisan-lapisan dalam masyarakat. Semakin banyak kepemilikan, kecakapan
masyarakat atau individu terhadap sesuatu yang dihargai semakin tinggi
kedudukan atau lapisannya. Sebaliknya bagi mereka yang hanya mempunyai sedikit
atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka mereka mempunyai kedudukan dan
lapisan yang rendah.
[1] Jalaluddin
Al-Mahalli, “Tafsir Jalalain”, (Semarang: Tuha Putra, 1459), Juz III, hal. 167.
[2] Jalaluddin As-Sayuthi, “Tadribur Rawi”, (Dar
al-Kutub: Bairut, 2009).
[3] Imam Al-Ghazali, “Ihya
Ulumuddin”, (Semarang: Tuha Putra),
Juz 3, hal. 167, tt.
[4]
Bagja Waluya,
“Sosiologi Menyalami
Fenomena Sosial di Masyarakat”, (Bandung: Setia Puma
Inves, 2007), Cet ke I, Hal. 16.
0 comments:
Post a Comment