A.
Teori Citra Da’I
Dalam pembahasan mengenai Teori Citra Da’i, penulis mencoba untuk
mengkaji maksud dari Firman Allah Swt yang berbunyi;
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا.
Artinya: "Sesungguhnya Telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab: 21).[1]
- Asbab
An-Nuzul
Surat al-Ahzab dapat
dikatagorikan sebagai surah Madaniyah, diturunkan pada akhir tahun V
hijrah, yaitu tahun terjadinya gazwat/perang
al-Ahzab yang dinamai juga perang Khandak, ketika itu atas usul sahabat
Nabi saw., Salman al-Farisi, Nabi Saw. Bersama sahabat-sahabat menggali parit (Khandak) pada arah utara kota Madinah, tempat yang ketika itu diduga
menjadi arah serangan kaum musyrikin. Surat Al-Ahzab adalah surat ke 90 dari
segi perurutan turunnya, yakni diturunkan sebelum surah al-Ma’idah dan sesudah
surat al-Anfal. dengan jumlah 73 ayat.
Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, menjelaskan
bahwa diturunkannya ayat yang mulia ini merupakan prinsip utama dalam
meneladani Rasulullah Saw. baik dalam ucapan, perbuatan maupun perilakunya
dalam peristiwa al-Ahzab yaitu meneladani kesabaran, upaya dan penantiannya
atas jalan keluar yang diberikan Allah Azza wa Jalla. Karena itu, Allah Ta’ala
berfirman kepada orang-orang beriman yang hatinya kalut dan guncang dalam
peristiwa al- Ahzab, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri
tauladan yang baik bagimu. Maksudnya, mengapa kamu tidak mengikuti
dan meneladani perilaku Rasulullah saw?, karena itu kemudian Allah Ta’ala
berfirman, “yaitu bagi orang-orang yang mengaharap rahmat Allah dan hari
kiamat, dan dia banyak mengingat Allah.” Selanjutnya Allah Ta’ala
memberikan ikhwah pada hamba-hambanya yang beriman dan membenarkan janji-Nya,
dengan berifirman, “Dan Tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu mereka berkata inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”.[2]
Semua ulama tafsir mengaitkan turunnya ayat di atas secara khusus
dengan peristiwa perang Khandaq yang sangat memberatkan kaum muslimin saat itu.
Nabi dan para Sahabat benar-benar dalam keadaan susah dan lapar, sampai-sampai
para Sahabat mengganjal perut dengan batu demi menahan perihnya rasa lapar.
Mereka pun berkeluh kesah kepada Nabi. Adapun Nabi, benar-benar beliau adalah
suri teladan dalam hal kesabaran ketika itu. Nabi bahkan mengganjal perutnya
dengan dua buah batu, namun justru paling gigih dan sabar. Kesabaran Nabi dan
perjuangan beliau tanpa sedikitpun berkeluh kesah dalam kisah Khandaq,
diabadikan oleh ayat di atas sebagai bentuk suri teladan yang sepatutnya
diikuti oleh ummatnya. Sekali lagi ini adalah penafsiran yang bersifat khusus
dari ayat tersebut, jika ditilik dari peristiwa yang melatar belakanginya.[3]
- Tafsir Surat
Al-Ahzab Ayat 21
Untuk mengetahui secara jelas maksud serta tafsir ayat surat al-
Ahzab ayat ke 21 ini, akan penulis jelaskan secara terperinci mengenai I’rab,
mufradat makna (arti kosa kata) terlebih dahulu yaitu sebagai berikut:
1.
I’rab
Pada permulaan ayat diawali لقد merupakan
kalam isti’naf dengan ‘lam’ sebagai jawaban qasam yang
dibuangkan (mahdzuf), kata قد huruf tahqiq yang berfaedah
lita’kid “menguatkan”, كان sendiri
merupakan fi’il madhi naqis yang fungsi “tarfa’u al-isma wa tansibu
al- khabar” dalam hal ini لكم sebagai
khabar, اسوة isimnya كان mu’akhar.
Sedangkanفي رسول
الله merupakan hal dari sifat uswah hasanah yang melekat
pada diri Rasulullah. Adapun لمن merupakan
badal isytimal dari لكم yang berfungsi menjelaskan sifat orang-orang yang
semestinya meneladani Rasulullah dari dhamir mukhathab كم yang bermakna “kamu”.
2.
Mufradat
Ayat ke 21 surat al-Ahzab ini menyatakan bahwa “sesungguhnya
benar-benar telah ada bagi kamu pada diri Rusulullah yakni Nabi Muhammad
saw. suri tauladan yang baik yaitu bagi orang-orang yang senantiasa
mengharap rahmat kasih sayang (pahala dari) Allah dan ‘keselamatan
serta kebahagiaan’ hari kiamat, serta teladan bagi mereka yang
berdzikir mengingat kepada Allah dan menyebut-nyebut nama-Nya dengan
banyak, baik dalam susah maupun senang.
- Pandangan
Mufassirin
1.
Tafsir Al-Munir
Wahbah Az-Zuhaili dalam
al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj mengatakan
bahwa pernyataan pada kalimat
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ yang didahului huruf ‘isti’naf lam dan qad’, berarti
menunjukkan betapa pentingnya meneladani Rasulullah, adapun posisi Rasulullah
saw. sebagai teladan berarti,"اقتداء حسن في جميع مايقوله ويفعله
متى فعلتم كان ذالك حسنا" (Teladan
baik dalam berbagai aspeknya, baik perkataan maupun perbuatanya, ketika kamu
sekalian mencohnya, hal itu dinyatakan baik). Wahbah al-Zuhaili dalam al-Tafsir
al-Munir fi al- Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, menginterpretasikan
ayat tersebut dengan, هذا امرا من الله تعالى
بالتاسى بالنبى صلى عليه وسلم يوم الأحزاب وغيره فى اقواله واحواله وصبره ومصابرته
ومجاهدته وانتظارالفرج من ربه عز وجل (Ini
merupakan perintah Allah SWT, untuk meneladani Nabi Muhammad saw. dan lainnya
pada hari al-Ahzab, baik yang berkenaan dengan perkataan, perbuatan, dan
keberadaannya dalam kesabaran, ketabahan dan kesungguhannya dalam menantikan
kelapangan dari Tuhannya).[4]
2.
As-Shawi ‘Ala Tafsir Al-Jalalain
Jalaluddin As-Sayuthi
dalam Tafsir Jalalain mengatakan:
فالمتصف بهذه الأوصاف ثبتت له الأسوة الحسنة في
رسول الله, واما
من لم يكن متصفا بتلك الأوصاف فليس كذلك.
“Maka bersifat dengan segala sifat yang dimiliki oleh Rasulullah baru dinamakan dengan uswatun
hasanah (teladan
yang baik), dan apabila seseorang tidak bersifat
dengan demikian maka bukan dari sifat Nabi”.[5]
3.
Tafsir
al-Khazin
Alauddin
‘Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Baghdady, dalam Tafsir al-Khazin; li Bayani
al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, menafsirkan ayat ini, “contoh dan teladanilah
Rasulullah saw dengan keteladanan baik, dalam arti tolong-menolonglah kamu
dalam berjuang menegakkan agama Allah (li
I’la-i Kalimatillah),
janganlah bercerai berai ‘meninggalkan’ Rasulullah dan bersabarlah
atas segala musibah yang menimpamu, (hal tersebut) sebagaimana
dilakukan oleh Rasulullah ketika itu, Nabi terluka wajah serta gigi
depannya, pamannya Hamzah terbunuh dalam perang, ‘maka
kerjakanlah seperti apa yang telah dilakukan-nya. Sedangkan perintah meneladani Rasulullah
tersebut bagi orang-orang yang mengharapkan pahala dari Allah, takut hari
kebangkitan yang merupakan hari pembalasan,
dan selalu berdzikir pada Allah meskipun dalam kepayahan sebagaimana
orang-orang mukmin dalam peristiwa al-Ahzab.[6]
4.
Majma’u
al- Bayan
fi Tafsiri al-Qur’an
Abi
‘Ali al-Fadhl ibn al-Hasan al-Thabarisy dalam Majma’u
al- Bayan
fi Tafsiri al-Qur’an,
menafsirkan ayat ini adalah benar-benar telah
ada bagimu‘orang-orang mukallaf) pada diri Rasulullah teladan baik ’qudwah shalihah’. Apabila kamu meneladaninya dalam
kesabaran, upaya dan penantiannya atas jalan keluar
terhadap cobaan. Ketika itu,
Nabi terluka wajah serta gigi depannya,
pamannya Hamzah terbunuh dalam peristiwa (perang) Khandak. Maka kamu
termasuk orang-orang mendapat predikat kesempurnaan meneladani
Nabi, Yakni bagi orangorang
mengharapkan pahala, kenikmatan dari Allah
dan mereka selalu dzikir pada Allah (dengan mengikuti
perintah-Nya).[7]
Diriwayatkan
dari Ibn Abbas bahwa makna لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِر artinya adalah “takut pada Allah serta
takut akan hari kebangkitan ‘yaumu al-ba’ats’ karena pada hari itu merupakan hari
pembalasan semua amal perbuatan manusia”.[8]
5.
Tafsir Ibnu Katsir
Adapun Ibnu Katsir
dalam Tafsir Ibnu Katsir, menafsirkan ayat yang mulia ini merupakan
prinsip utama dalam meneladani Rasulullah saw. baik dalam ucapan, perbuatan
maupun perilakunya. Ayat ini merupakan perintah Allah kepada manusia agar
meneladani Nabi saw. dalam peristiwa al-Ahzab yaitu meneladani kesabaran, upaya
dan penantiaanya atas
jalan keluar yang diberikan Allah Azza wa Jalla. Semoga
shalawat dan salam Allah senantiasa dilimpahkan kepadanya hingga
hari kiamat. Karena itu Allah Ta’ala berfirman kepada orangorang beriman
yang hatinya kalut dan guncang dalam peristiwa al- Ahzab,
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri
tauladan yang
baik bagimu. Maksudnya,
mengapa kamu tidak mengikuti dan meneladani perilaku Rasulullah saw?, karena
itu kemudian Allah Ta’ala berfirman, “yaitu
bagi orang-orang yang mengaharap rahmat Allah dan hari kiamat, dan dia banyak mengingat
Allah”.[9]
B.
Analisis
Citra Da’i Dalam Pandangan Surat Al-Ahzab Ayat
21
Diantara sekian banyak para
mufasirin yang telah penulis jebarkan sebelumnya, dapat kita pahami bahwa penerapan
uswahtun hasanah dalam melaksankan dakwah dapat dijadikan sebagai salah
satu metode bertindak (metode praktek) terhadap proses dakwah yang
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga, sekolah
maupun di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan da’i harus menjadi sebagai sosok
yang diteladani umat kerana sifat dan kepridiannya.
Jika kita menganalisis lebih
dalam terhadap kata kunci yang Allah jelaskan dalam surat Al-Ahzab ayat 21 maka
dapat disimpulkan bahwa Da’i harus memiliki kepribadian secara rohaniah dan
jasmaniyah.
1.
Kepribadian Rohaniah
a)
Beriman dan
Bertaqwa Kepada Allah SWT
Kepribadian Da’i yang terpenting
adalah iman dan taqwa kepada Allah Swt, sifat ini merupakan dasar utama pada
akhlak Da’i. Sesuai dengan Firman Allah yang berbunyi;
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(QS. Ataubah:27).
b)
Ahli Taubat
Sifat taubat dalam diri Da’i,
berarti ia harus mampu untuk lebih menjaga atau takut berbuat maksiat atau dosa
dibandingkan orang yang menjadi mad’u-nya. [10]
Allah berfirman:
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ
السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا.
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah
taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang
kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah
taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa’: 17).
c)
Ahli Ibadah
Seorang Da’i adalah mereka yang
selalu beribadah kepada Allah dalam setiap gerakan, perbuatan ataupun perkataan
kapan pun dan dimana pun.
d)
Amanah dan
Shidq
Sifat ini adalah sifat utama yang
harus dimiliki oleh seorang Da’i sebelum sifat-sifat yang lain, karena itu
merupakan sifat yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul. Sesuai dengan Firman
Allah dalam surat Maryam:
وَوَهَبْنَالهُمْ
مِنْ رَّحْمَتِنَا وَجَعَلْنَالَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا.
“Dan kami
anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat kami dan kami jadikan mereka
buah tutur yang baik dan mulia”. ( QS. Maryam : 50 )
e)
Pandai
Bersyukur
Orang yang bersyukur adalah orang
yang merasakan karunia Allah dalam dirinya, sehingga perbuatan dan ungkapannya
merupakan realisasi dari rasa kesyukuran tersebut.
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ
كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih.” (QS.
Ibrahim: 7).
f)
Tulus Ikhlas
dan Tidak Mementingkan Pribadi
Niat yang tulus tanpa pamrih
duniawi, salah satu syarat yang mutlak yang harus dimiliki seorang Da’i.
g)
Ramah dan Penuh
Pengertian
Dakwah adalah pekerjaan yang
bersifat propaganda kepada yang lain. Propaganda dapat diterima,
apabila orang yang mempropaganda berlaku ramah, sopan, dan ringan tangan untuk
melayani objeknya.
h)
Tawaddhu’
(Rendah Hati)
Rendah hati bukanlah rendah diri,
rendah hati dalam hal ini adalah sopan dalam pergaulan, tidak sombong, tidak
suka mencela, dan tidak suka menghina orang lain. Allah Swt berfirman:
وَاخْفِضْ
جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ.
“Dan rendahkanlah
dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Syu’ara’:
215).
i)
Sederhana
Kesederhanaan adalah merupakan pangkal keberhasilan
dakwah.
j)
Tidak
Memiliki Sifat Egois
Ego adalah suatu watak yang
menonjolkan keangkuhan dalam pergaulan, merasa diri paling hebat, terhormat,
dan lain-lain.
k)
Sabar Dan
Tawakal
Mengajak manusia kepada kebajikan
bukan hal yang mudah, oleh karena itu apabila dalam menunaikan tugas dakwah,
Da’I mengalami hambatan dan cobaan hendaklah da’I tersebut bersikap sabar dan
tawakal kepada Allah SWT.[11]
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ .
“Dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Tuhannya”. (Qs. Al
Kahfi : 28)
l)
Memiliki
Jiwa Toleran
Toleransi dapat dipahami sebagai
sikap pengertian dan dapat mengadaptasi diri secara positif.
m)
Sifat
Terbuka (Demokratis)
Seorang Da’I harus memiliki sifat
terbuka dalam arti bila ada kritik dan saran hendaklah diterima dengan gembira.
n)
Tidak
Memiliki Penyakit Hati
Yaitu sombong, dengki, ujub, dan iri
harus disingkirkan dari sanubari seorag Da’i.
o)
Dan sifat tercela lainnya.
2. Kepribadian Jasmaniah
a.
Sehat
Jasmani
Dakwah memerlukan akal yang sehat,
sedangkan akal yang sehat terdapat pada badan yang sehat pula. Disamping itu,
dengan kesehatan jasmani seorang Da’i harus mampu memikul beban dan tugas
dakwahnya. Sebagaimana Nabi sanggup membawa batu diperutnya dalam kondisi
lapar, tentunya jika tidak didukung oleh kondisi fisik hal tersebut tidak
sanggup dilakukannya.
b.
Berpakaian
Sopan dan Rapi
Pakaian yang sopan, praktis dan
pantas mendorong rasa simpati seseorang pada orang lain bahkan pakaian
berdampak pada kewibawaan seseorang. Bagi seorang Da’i masalah pakaian harus
mendapat perhatian serius, sebab pakaian yang dipakai menunjukkan
kepribadiannya.[12]
Semua sifat yang harus dimiliki oleh Da’i yang telah penulis
uraikan, dapat kita fahami langsung dari kalimat yang Allah sebutkan dalam
surat Al-Ahzab ayat 21 yaitu أسوة الحسنة (suri
teladan yang baik).
Oleh karena demikian, jika diperhatikan makna uswah yang
sesungguhnya, menunjukkan bahwa uswah adalah kondisi yang ada pada diri
seseorang terpuji atau tercela, yang menstimulasi orang lain untuk mengikuti
dan mencontohinya. Sementara “uswah hasanah” berarti tuntunan yang baik
lagi terpuji yang diikuti orang banyak, atau tuntunan yang lurus yang diikuti,
artinya teladan baik yang sayogyanya dicontohi dan diikuti.
Urgensi uswah hasanah dalam Islam menjelaskan bahwa umat
manusia telah diberi fitrah untuk mencari teladan, agar menjadi pedoman
bagi mereka yang menerangi jalan kebenaran dan menjadi contoh hidup yang
menjelaskan mereka bagaimana melaksanakan syari’at Allah.
Sedangkan Da’i merupakan potret dari seorang figur yang selalu dijadikan contoh oleh orang lain. Oleh karena itu seorang da’i sayogyanya memahami betul ‘model keteladanan Qur’ani’ yang dicontohkan oleh para Nabi. Sehingga Da’i mampu menampilkan
dirinya sebagai figur yang tidak hanya
sekedar menuntun umat dengan cara berceramah, berkhutbah, dan berdiskusi,
tetapi juga mengamalkan semua ajaran yang
telah disampaikannya pada orang lain. Dengan demikian Da’i menjadi figur bagi
umat, karena figur seorang Da’i adalah kunci keberhasilan Dakwah.
C.
Hubungan
Kepribadian Da’i Dengan Keberhasilan Dakwah
Citra adalah kesan kuat yang melekat pada banyak orang
tentang seseorang, sekelompok orang atau tentang suatu institusi. Seseorang
yang secara konsisten dan dalam waktu yang lama berperilaku baik atau
berprestasi menonjol maka akan terbangun kesan pada masyarakatnya bahwa orang
tersebut adalah sosok yang baik dan hebat. Sebaliknya jika seseorang dalam
kurun waktu yang lama menampilkan perilaku yang tidak konsisten, maka akan
tertanam kesan buruk orang tersebut di dalam hati masyarakatnya. Dalam
perspektif ini orang yang ingin memiliki citra baik dilingkungannya, maka ia
harus bisa menunjukan sebagai orang baik secara konsisten.
Citra atau kesan terbangun melalui proses
komunikasi interpersonal dimana orang banyak mempersepsi kepada kita atau
sebaliknya. Citra dipersoalkan biasanya hanya pada seseorang yang secara sosial
menonjol kedudukannya. Meski demikian tidak semua perbuatan dipersepsi secara
tidak benar, karena persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor.
Setiap Da’i – idealnya - merasa sebagai pejuang
yang bekerja untuk menyelamatkan masyarakat dari bencana dan mengantarnya pada
kebahagiaan hakiki. Sebagai pejuang, maka seorang da’i tak mengenal lelah, tak
mengharapkan penghargaan, dan juga upah. Kebahagiaan seorang da’i adalah
apabila ia berhasil membimbing masyarakat kepada jalan yang benar, yang
diridlai Allah. Bagi seorang Da’i, ridla Allah lah yang dicari, oleh karena itu
tantangan, hambatan dan bahkan caci-maki dari masyarakat yang belum bisa
menerima dakwahnya diterima dengan ikhlas, sabar dan dijadikan cambuk
perjuangan.
Jika diteropong dengan Psikologi,
kepribadian Da’i sangat berhubungan erat dengan keberhasilan atau kesuksesan
kegiatan dakwah. Karena dalam melaksanakan kegiatan dakwah akan banyak cobaan
yang dihadapi oleh juru dakwah. Oleh Karena itu kepribadian seorang Da’i
berperan penting dalam keberhasilan proses dakwah.[13]
Dakwah dengan kepribadian yang baik,
telah teruji dan terbukti keberhasilannya karena secara praktis telah
diterapkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat ra. Hal ini membuktikan bahwa
kekuatan dari dakwah bil-hikmah dengan mengedepankan akhlaqul karimah bisa
menjadi senjata dakwah yang sangat ampuh.
D.
Medan Dakwah
Dalam kehidupan sehari-hari
sering dijumpai, bahwa tata cara memberikan lebih penting dari sesuatu yang
diberikan itu sendiri. Semangkok teh pahit dan sepotong ubi goreng yang
disajikan dengn cara sopan, ramah dan tanpa sikap yang dibuat-buat, akan lebih
terasa enak dicicipi.
Dalam
konteks ini tata cara atau metode lebih penting dari materi, yang
dalam Bahasa Arab dikenal denganالطريقة اهم من المدة (metode lebih penting daripada materi)[14]. Ungkapan ini sangat
relevan dengan kegiatan dakwah. Betapapun sempurnanya materi, lengkapnya bahan
dan aktualnya isu-isu yang disajikan, tetapi apabila disampaikan dengan cara
yang sembrono, tidak sistematis dan sembarangan, akan menimbulkn kesan yang
tidak simpatik dan berujung kepada kesia-siaan. Tetapi sebaliknya, walaupun
materi kurang sempurna, bahan sederhana dan isu-isu yang disampaikan kurang
aktual, namun disajikan dengan cara yang menarik dan menggugah, maka hasilnya
akan impresif dan melahirkan manfaat.
Nah untuk mengetahui metode dan
cara beradaptasi dengan kondisi dan situasi dalam melaksanakan dakwah Allah Swt
memberikan gambarannya dalam surat An-Nahal ayat 125, Allah berfirmankan yang bunyinya:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ
عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ.
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.(QS. An-Nahal: 125).
a.
Asbab An-Nuzul Surat An Nahl ayat 125
Para mufasir
berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang
turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah
Rasulullah Saw. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud,
termasuk Hamzah, paman Rasulullah.[15] Al-Qurthubi menyatakan
bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada
Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan
pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang
menjadi sebab turunnya ayat tersebut.[16]
b.
Beberapa Pendapat Ahli Tafsir
1.
Jalaluddin As-Sayuthi dalam Tafsirnya mengatakan
( ادع ) الناس يا محمد )إلى سَبِيلِ رَبّكَ (
دينه ) بالحكمة (
بالقرآن ) والموعظة الحسنة (
مواعظة أو القول الرقيق )
وجادلهم بالتى ( أي المجادلة التي )
هِىَ أَحْسَنُ ( كالدعاء إلى الله بآياته والدعاء إلى حججه ) إِنَّ رَّبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ ( أي عالم ) بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بالمهتدين ( فيجازيهم ،وهذا قبل الأمر بالقتال.
Artinya: “Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan Rabb-mu
(agama-Nya) dengan hikmah (dengan al-Quran) dan nasihat yang baik
(nasihat-nasihat atau perkataan yang halus) dan debatlah mereka dengan
debat terbaik (debat yang terbaik seperti menyeru manusia kepada Allah dengan
ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujjah). Sesungguhnya Rabb-mu,
Dialah yang maha mengetahui, yakni maha mengetahui tentang siapa yang sesat
dari jalan-Nya, dan Dia maha mengetahui atas orang-orang yang mendapatkan
petunjuk. Maka Allah membalas mereka. Hal ini terjadi sebelum ada perintah
berperang)”.[17]
2.
Tafsir al-Qurthuby
هذه الآية نزلت بمكة في
وقت الامر بمهادنة قريش، وأمره أن يدعو إلى دين الله وشرعه بتلطف ولين دون مخاشنة
وتعنيف، وهكذا ينبغى أن يوعظ المسلمون إلى يوم القيامة. فهى محكمة في جهة العصاة
من الموحدين، ومنسوخة بالقتال في حق الكافرين. وقد قيل: إن من أمكنت معه هذه الاحوال
من الكفار ورجى إيمانه بها دون قتال فهى فيه محكمة. والله أعلم.
Artinya: “(Ayat ini diturunkan di Makkah saat Nabi SAW. diperintahkan
untuk bersikap damai kepada kaum Quraisy. Beliau
diperintahkan untuk menyeru pada agama Allah dengan lembut (talathuf), layyin,
tidak bersikap kasar (mukhasanah), dan tidak menggunakan kekerasan (ta’nif).
Demikian pula kaum Muslim; hingga Hari Kiamat dinasihatkan dengan hal tersebut.
Ayat ini bersifat muhkam dalam kaitannya dengan orang-orang durhaka
dan telah di-mansûkh oleh ayat perang berkaitan dengan kaum
kafir. Ada pula yang mengatakan bahwa bila terhadap orang kafir
dapat dilakukan cara tersebut, serta terdapat harapan mereka untuk beriman
tanpa peperangan, maka ayat tersebut dalam keadaan demikian
bersifat muhkam. Wallâhu a’lam)”.[18]
3.
Tafsir At-Thabary
( ادْعُ ) يا محمد من أرسلك إليه ربك بالدعاء إلى
طاعته ( إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ ) يقول: إلى شريعة ربك التي
شرعها لخلقه، وهو الإسلام (
بِالْحِكْمَةِ ) يقول بوحي الله الذي يوحيه إليك وكتابه الذي ينزله عليك ( وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ) يقول: وبالعبرة الجميلة
التي جعلها الله حجة عليهم في كتابه ، وذكّرهم بها في تنزيله، كالتي عدّد عليهم في
هذه السورة من حججه ، وذكّرهم فيها ما ذكرهم من آلائه (
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ) يقول: وخاصمهم بالخصومة التي هي أحسن من
غيرها أن تصفح عما نالوا به عرضك من الأذى، ولا تعصه في القيام بالواجب عليك من
تبليغهم رسالة ربك.
Artinya: “Serulah (Wahai
Muhammad, orang yang engkau diutus Rabb-mu kepada nya dengan seruan untuk
taat ke jalan Rabb-mu, yakni ke jalan Tuhanmu yang telah Dia syariatkan
bagi makhluk-Nya yakni Islam, dengan hikmah (yakni dengan wahyu Allah yang
telah diwahyukan kepadamu dan kitab-Nya yang telah Dia turunkan kepadamu) dan
dengan nasihat yang baik (al-mau’izhah al-hasanah, yakni dengan
peringatan/pelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujah atas mereka di dalam
kitab-Nya dan Allah telah mengingatkan mereka dengan hujah tersebut tentang apa
yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang banyak tersebar
dalam surat ini, dan Allah mengingatkan mereka (dalam ayat dan surat tersebut)
tentang berbagai kenikmatan-Nya). Serta debatlah mereka dengan cara baik (yakni
bantahlah mereka dengan bantahan yang terbaik), dari selain bantahan itu engkau
berpaling dari siksaan yang mereka berikan kepadamu sebagai respon mereka
terhadap apa yang engkau sampaikan. Janganlah engkau mendurhakai-Nya dengan
tidak menyampaikan risalah Rabb-mu yang diwajibkan kepadamu)”.[19]
E.
Analisis Ayat
Jika kita lihat dari
teks ayat, Asbabunuzul, dan hasil pandangan para mufasirin tidak kita dapatkan
kalimat yang khusus bahwa ayat tersebut diperintahkan untuk kita yang hidup pada masa sesudah Rasulullah
Saw. Karena ayat tersebut diturun kepada Nabi ketika perang Khadaq dan
teks ayat tersebut juga hanya membicarakan tentang kondisi konflik ketika itu.
Namun ayat tersebut tetap bisa dijadikan dalil dalam sasaran
dakwah dan berlaku untuk siapa saja, muslim ataupun kafir, serta juga
berlaku didalam kondisi dan situasi apapun, karena ayat Al-Quran tidak hanya
berlaku khusus sesuai dengan sabab an-nuzul-nya, tetapi juga harus
difahami dari manthuq (ungkapanya).
Maka dalam hal ini untuk
memahami Al-Quran, peran ilmu ushul fiqh-lah yang mampu menjawab manthuq dari
suatu ayat. Tanpa ilmu ushul fiqh sungguh sangat banyak ayat Al-Quran tidak
berlaku sesudah masa Nabi Muhammad Saw.
Nah, menurut Ahmad Ibn
Lathif dalam kitab ushul fiqhnya mengatakan (ungkapan) ayat tersebut memberikan
pengertian umum, jika manthuq ayat memberikan pengertian umum maka manthuq ayat
tersbut tidak perlu melihat kepada kekhususan sebabnya berdasarkan qaidah
(undang-undang) kaidah ushul fiqh : أَنَّ الْعِبْرَةَ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَب (Yang menjadi patokan adalah keumuman ungkapan, bukan kekhususan sebab).[20]
Setelah kata ud‘u (serulah)
tidak disebutkan siapa obyek (maf‘ûl bih)-nya. Ini adalah uslub (gaya pengungkapan)
bahasa Arab yang memberikan pengertian umum (li at-ta’mîm).[21]
Dari segi siapa yang
berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Meski ayat ini adalah perintah Allah
kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam. Sebagaimana
kaidah dalam ushul fikih : خطاب الرسول خظاب لامته
مالم يرد دليل التحصيص (Perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga
berlaku untuk umat Islam, selama tidak ada dalil yang
mengkhususkannya).[22]
Dalam ayat tersebut
terdapat beberapa kata kunci tentang metode dan cara beradaptasi dengan kondisi dan situasi dalam melaksanakan
dakwah yang kiranya perlu pengkajian mendalam,
yaitu:
1.
Al-Hikmah ( الْحِكْمَةِ )
Kata Al-hikmah Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan kebijaksanaan,
kesaktian dan makna yang dalam.[23] Secara
bahasa al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan amal. [24] Menurut ar-Raghib,
al-hikmah berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal
yang baik.[25] Menurut
Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman, akal, dan kebenaran dalam ucapan selain
kenabian. At-Thabary mengatakan bahwa Hikmah dari Allah SWT bisa
berarti benar dalam keyakinan dan pandai dalam din dan akal.[26]
Adapun Abdul
Aziz bin Baz bin Abdullah bin Baz berdasarkan
penelitiannya menyimpulkan
bahwa hikmah mengandung arti sebagai berikut:
والمراد بها: الأدلة
المقنعة الواضحة الكاشفة للحق، والداحضة للباطل؛ ولهذا قال بعض المفسرين: المعنى:
بالقرآن؛ لأنه الحكمة العظيمة؛ لأن فيه البيان والإيضاح للحق بأكمل وجه، وقال
بعضهم: معناه: بالأدلة من الكتاب والسنة.
Artinya: “Dan yang dimaksud dengan hikmah adalah: petunjuk yang
memuaskan, jelas, serta menemukan (mengungkapkan) kebenaran, dan membantah
kebatilan. Oleh karena itu, telah berkata sebagian mufassir bahwa makna hikmah
adalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an adalah hikmah yang agung. Karena
sesungguhnya di dalam Al Qur’an ada keterangan dan penjelasan tentang kebenaran
dengan wajah yang sempurna (proporsional). Dan telah berkata sebagian yang lain
bahwa makna hikmah adalah dengan petunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.”[27]
Dengan demikian dapat
kita fahami bahwa seorang Da’i dalam berdakwah harus mampu menggali kelebihan
(hikmah) yang terkandung dalam setiap perintah Allah dan larangannya serta
mampu merasionalkannya kepada mad’u (umat). Orang akan mau mengkonsumsi produk
baru, apabila khasiat dan kelebihannya dikasihtau oleh sipemilik produk, jangan
salahkan orang ketika barang tidak laku, tapi salahkan sipemilik produk kenapa
tidak memberitau.
2.
Mau’idhatul Hasanah ( الْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ )
Yaitu berdakwah dengan
peringatan/pelajaran dan perkataan yang indah, bukan dengan bersikap kasar dan
bukan juga dengan kekerasan. Dalam bahasa yang lain diperintahkan kita untuk
berdakwah kepada kebaikan dengan cara dan perkataan yang baik pula serta kita
diperintahkan untuk menyelesaikan masalah dengan kebaikan bukan justru
bertambah masalah. Metode mauidhatul hasanah ini berlaku dimanapun dan
dalam kondisi apapun.
3.
Jadil ( جَدِلْ)
Jadal bermakna debat
atau diskusi, ini sering terjadi dikalangan yang berbeda pemahaman, aliran,
agama, atau bahkan dengan kalangan orang yang mengakui tentang apa yang kita
sampaikan itu benar tetapi mereka menantang kita karena menentang dengan
kemauan sebab ada kepentingan yang mereka mainkan. Jika dalam suatu pembahasan
yang disampaikan oleh Da’i terjadi bantahan, maka seorang Da’i dianjurkan untuk
berdebat dengan cara yang baik, yang oleh Jalaluddin As-Sayuthi mengibaratkan
dengan كالدعاء إلى الله بآياته والدعاء إلى حججه (debat yang terbaik seperti menyeru manusia kepada Allah dengan
ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujjah).
F.
Problematika Dakwah Masa Kini
Tentunya dalam menjalankan misi dakwah
tidaklah semudah yang kita bayangkan, sungguh sangat banyak problematika yang
datang kian silih berganti sesuai dengan situasi dan kondisi, problematika
tersebutpun ikut termodifikasi sesuai dengan perkembangan masa.
Oleh karena demikian agar lebih jelas
(secara garis besar) persoalan yang kita hadapi sekarang adalah tantangan
dakwah yang semakin hebat, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Tantangan itu muncul dalam berbagai bentuk kegiatan masyarakat modern, seperti
perilaku dalam mendapatkan hiburan (entertainment), kepariwisataan dan seni
dalam arti luas, yang semakin membuka peluang munculnya kerawanan-kerawanan
moral dan etika. Kerawanan moral dan etika itu muncul semakin transparan dalam
bentuk kemaksiatan karena disokong oleh kemajuan alat-alat teknologi informasi
mutakhir seperti siaran televisi, jaringan Internet, dan sebagainya.
Kemaksiatan itu senantiasa mengalami peningkatan dari segi kualitas dan
kuantitas, seperti maraknya perjudian, minum minuman keras, dan tindakan
kriminal, serta menjamurnya tempat-tempat hiburan, siang atau malam, yang semua
itu diawali dengan penjualan dan pendangkalan budaya moral dan rasa malu.
Dalam ruanglingkup lokal seperti Aceh yang
merupakan daerah yang berlabel Syariat, yang berbudaya, beradat dan beragama,
ternyata realitas dilapangan kemaksiatan yang berhubungan dengan apa yang
dinamakan sex industry juga mengalami kemajuan, terutama setelah terbukanya turisme
internasional di berbagai kawasan, hingga menjamah wilayah yang semakin luas
dan menjarah semakin banyak generasi muda dan remaja yang kehilangan jati diri karena
mereka miskin iman dan ilmu. Hal semacam ini semakin buruk dan mencemaskan
perkembangannya karena hampir-hampir tidak ada lagi batas antara kota dan desa,
semuanya telah terkontaminasi dalam eforia kebebasan yang tak kenal batas.
Selain itu banyak juga bermunculan
aliran-aliran ataupun pemahaman-pemahaman yang menyeleweng dari ajaran yang
dibawa Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam. Yang mana penganut aliran tersebut mengadakan rekontruksi tentang
pemahaman dalam ajaran agama Islam, dan mereka juga merekontruksi ajaran agama
yang tidak sesuai dengan akal mereka. Mereka melakukan itu dengan beralaskan
bahwa sekarang adalah zaman kebebasan, yang diartikan dengan bebas untuk
berbuat semaunya, merevisi pemahaman yang sudah ada menjadi pemahaman seperti
yang mereka fahami. Diantara aliran-aliran ini adalah mereka yang biasa
dinamakan, Liberalis, pluralis, sekuralis, feminis, dan lain sebagainya.
Yang sangat sukar lagi kita antisipasinya
adalah semua aliran-aliran yang berkembang, mengakui diri beragama Islam, tapi
prilaku mereka selalu tidak sesuai dengan Islam, selalu mengkritik
ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan pemahaman akal. Padahal ajaran yang
dibawa Rasulllah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, adalah berasal dari wahyu yang mana jika akal kurang menerima
tentu harus wahyu yang di menangkan, bukan wahyu yang harus ikut pemahaman
akal.
Selain itu masih banyak lagi problem yang
harus kita hadapi dalam perjalanan dakwah, yaitu serangan-serangan yang
datang dari non-Islam yang mana mereka juga membuat strategi khusus utuk
menyerang kita dari berbagai arah, namun walau demikian hebatnya tantangan,
yang harus kita garis bawahi bahwa dakwah menjadi tugas kita untuk memperjuangkan
tegaknya agama ini.
G.
Solusi
Untuk mengantisipasi berbagai problematika
dakwah yang telah penulis uraikan, kita harus berusaha mencegahnya dengan memperkuat benteng
pertahanan aqidah yang
berpadukan dengan ilmu dan teknologi. Tidak sedikit korban yang berjatuhan yang membuat kemuliaan
Islam semakin terancam dan masa depan generasi muda semakin suram. Apabila kita
tetap lengah dan terbuai oleh kemewahan hidup dengan berbagai fasilitasnya,
ketika itu pula secara perlahan kita meninggalkan petunjuk-petunjuk Allah Swt, yang
sangat diperlukan bagi hati nurani kita (Al Quran
dan As Sunnah). Di samping itu kelemahan dan
ketertinggalan umat Islam dalam meng-akses informasi dari waktu ke waktu, pada
gilirannya juga akan membuat langkah-langkah dakwah kita semakin tumpul tak
berdaya. Bertolak dari faktor-faktor tersebut, agar problematika dakwah tidak
semakin kusut dan berlarut-larut, perlu segera dicarikan jalan keluar dari
kemelut persoalan yang dihadapi.
Nah, menurut hasil analisis penulis,
secara sederhana, penulis mencoba menawarkan
lima “Pekerjaan Rumah” yang perlu diselesaikan, agar dakwah Islam di era
informasi sekarang tetap relevan, efektif, dan produktif. Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain:
1.
Perlu
adanya pengkaderan yang serius untuk
memproduksi juru-juru dakwah dengan pembagian kerja yang rapi. Ilmu tabligh
belaka tidak cukup untuk mendukung proses dakwah, melainkan diperlukan pula
berbagai penguasaan dalam ilmu-ilmu teknologi informasi yang paling mutakhir.
2.
Setiap
organisasi Islam yang berminat dalam tugas-tugas dakwah perlu membangun
laboratorium dakwah. Dari hasil “Labda” ini akan dapat diketahui
masalah-masalah riil di lapangan, agar jelas apa yang akan dilakukan.
3.
Proses
dakwah tidak boleh lagi terbatas pada dakwah bil-lisan, tapi harus diperluas
dengan dakwah bil-hal, bil-kitaabah (lewat tulisan), bil-hikmah (dalam arti
politik), ekonomi, dan sebagainya.
4.
Media massa cetak dan terutama media elektronik harus
dipikirkan sekarang juga. Media elektronik yang dapat menjadi wahana atau
sarana dakwah perlu dimiliki oleh umat Islam. Bila udara Indonesia di masa
depan dipenuhi oleh pesan-pesan agama lain dan sepi dari pesan-pesan Islami,
maka sudah tentu keadaan seperti ini tidak menguntungkan bagi peningkatan
dakwah Islam di tanah air.
5.
Merebut remaja Indonesia adalah tugas dakwah Islam
jangka panjang. Anak-anak dan para remaja kita adalah aset yang tak ternilai.
Mereka wajib kita selamatkan dari pengikisan aqidah yang terjadi akibat
“invasi” nilai-nilai non islami ke dalam jantung berbagai komunitas Islam di
Indonesia. Bila anak-anak dan remaja kita memiliki benteng tangguh (al-hususn
al-hamidiyyah) dalam era globalisasi dan informasi sekarang ini, insyaAllah
masa depan dakwah kita akan tetap cerah.
Menyimak
uraian-uraian di atas, dapat diprediksi bahwa misi dan tantangan dakwah
tidaklah pernah akan semakin ringan, melainkan akan semakin berat dan hebat
bahkan semakin kompleks dan melelahkan. Inilah problematika dakwah kita masa kini.
Oleh sebab itu semuanya harus diatur kembali dengan manajemen dakwah yang
profesional dan ditangani oleh tenaga-tenaga berdedikasi tinggi, mau berkorban
dan ikhlas beramal. Mengingat potensi umat Islam yang potensial masih sangat
terbatas, sementara kita harus mengakomodir segenap permasalahan dan tantangan
yang muncul, maka ada baiknya kita mencoba memilih mana yang tepat untuk
diberikan skala prioritas dalam penanganannya, sehingga dana, tenaga, dan
fikiran dapat lebih terarah, efektif, dan produktif dalam penggunaanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz bin Baz, Ad Da’wati Ilaa Allah Wa
Akhlaqi Ad Da’aati, (Arab Saudi: Mawaqi’
Al-Islam, Saudi.
Abi al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir al-Qurasyyi al-Damasyqy, Tafsir
Ibn Katsir, Juz 3, (Beirut: Dar al-Fkr, 1986).
Abi ‘Ali al-Fadhl ibn al-Hasan al-Thabarisy, Majma’u al-Bayan
fi Tafsiri al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah).
Abi al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir
al-Qurasyyi al-Damasyqy, Tafsir Ibn Katsir, juz. 3, (Beirut: Dar al-Fkr,
1986).
Abu Jafar At-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, (Mesir: Muassasah Ar-Risâlah, 2000).
Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim, Dar
at-Thayyibah Linasyri Wa Tawji’, Madinah , 1420 H.
Ahmad Ibn Lathif, Nufahat ‘Ala Syarhil Waraqat,
(Al-Haramain: Indonesia, 2006).
Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi, Mawaqi’
At-Tafasir ,Mesir.
Al-Quran Al-Karim, Terjemahan Departemen Agama RI (Diponogoro: Bandung,
2000).
Alauddin ‘Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Baghdady, Tafsir
al-Khazin; li Bayani al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, juz 3, (Bairut Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah).
Andewi Suhartini, “Signifikansi Uswah Hasanah dalam Proses
Pendidikan”, dalam Jauhar; Jurnal Pemikiran Islam Kontemporer,
(Jakarta: Program Pasca Sarjana UIN Hidayatullah, 2002).
Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, (Bairut: Dar Al-fikr, 1996).
Asy-Syaukani. “Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm
al-Ushûl.“ (Beirut : Darul Fikr, 1992).
Djamaluddin Ancok & Fuad Nashori. Psikologi Islami.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1995).
Faizah&Lalu Machsin Effendi. Psikologi Dakwah. (Jakarta:
Kencana, 2006).
Hasan Alwi,dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2003).
Jalaluddin As-Sayuthi, Asshawi ‘Ala Tafsir Al-Jalalaini, juz 2 & 3, (Jeddah
Indonesia).
Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah; Studi Atas Berbagai
Prinsip dan Kaidah Yang Harus Dijadikan Acuan Dalam Dakwah Islamiah, (Solo,
2011).
Muhammad Ibn Ahmad Al-Qurthubi, terj. Aisha Abdurrahman Bewley
(Dar al-Taqwa, 2003).
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakr Ibn
Farah al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Dâr Sya’b, Kairo, 1373 H.
Nasruddn Lathief, Khutbah Jumat, (Ikatan Mesjid Indonesia,
2001).
Samsul Munir Amin, Rekonstruksi Pemikiran
Dakwah Islam, (Jakarta, 2008).
Saerozi, Metodelogi Penelitian Dakwah, (Pendekatan
Kualitatif dan Kuantitatif: 2008).
Shihab al-Din al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, (Bairut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa
al-Syari’ah wa al-Manhaj,
(Beirut: Dar al-Fikr,
1991).
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta,
2011).
Wardi Bachtiar, Metodelogi Penelitian Ilmu Dakwah, (Logos:
Indoenesia 1997).
[2] Abi
al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir al-Qurasyyi al-Damasyqy, Tafsir Ibn Katsir, (Beirut:
Dar al-Fkr, 1986), juz. 3, hlm. 475.
[3] Muhammad Ibn Ahmad
Al-Qurthubi, terj. Aisha Abdurrahman Bewley (Dar al-Taqwa, 2003), hal. 138-139.
[4]
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa
al-Manhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), juz 21, hlm.
273.
[6] Alauddin ‘Ali ibn
Muhammad ibn Ibrahim al-Baghdady, Tafsir al-Khazin; li Bayani al-Ta’wil fi
Ma’ani al-Tanzil, (Bairut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), juz 3,
hlm. 418.
[7] Abi ‘Ali al-Fadhl
ibn al-Hasan al-Thabarisy, Majma’u al-Bayan fi Tafsiri al-Qur’an, (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, t.th.), juz 7, hlm. 548.
[8] Ibid...., hal. 548.
[9] Abi al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir
al-Qurasyyi al-Damasyqy, Tafsir Ibn Katsir, juz. 3, (Beirut: Dar al-Fkr,
1986), hal. 475.
[14] Ahmad
Ibn Lathif, Nufahat ‘Ala Syarhil Waraqat, (Al-Haramain: Indonesia,
2006), hal. 78.
[16] Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn
Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim, Tahqiq oleh Samy bin
Muhammad Salamah, Dar at-Thayyibah Linasyri Wa Tawji’, Madinah , 1420 H,
Hal.613/IV
[18] Muhammad bin Ahmad bin
Abi Bakr bin Farah al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Dâr Sya’b,
Kairo, 1373 H, hal.200.
[19] Muhammad bin Jarir bin
Yazid bin Khalid Ath Thabari, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an, Muassatur
Risalah, Mesir, 1420 H, hal.321
[20] Ahmad Ibn Lathif, Nufahat
‘Ala Syarhil Waraqat, (Al-Haramain: Indonesia, 2006), hal. 164.
[21] Asy-Syaukani.
“Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl.“ (Beirut : Darul
Fikr, 1992), hal. 132.
[25] Shihab
al-Din al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, (Bairut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1993), Juz 6, hal. 82.
[26] Abu Jafar
At-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, (Mesir: Muassasah Ar-Risâlah, 2000). Juz 5, hal. 269.
[27] Abdul Aziz bin Baz, Ad Da’wati Ilaa Allah Wa Akhlaqi Ad Da’aati,
(Arab Saudi: Mawaqi’ Al-Islam, Saudi, hal. 25/I
0 comments:
Post a Comment