Sesungguhnya,
nama Ahlussunnah Wal Jamaah itu telah diperkenalkan
secara umum oleh Rasulullah sesuai kandungan Alquran, namun nama Ahlussunnah
Wal Jamaah pada waktu itu belumlah populer sekali. Dalam perkembangan
selanjutnya, Islam berkembang luas dan akidah Islamiyah mulai dipersoalkan,
terutama oleh para ahli logika yang baru masuk Islam, atau ahli-ahli Manthiq
yang masih amat kental dengan kemusyrikannya.
Pada fase seperti itu, muncullah pakar pakar Islam yang menyusun
sistimatika dan rumusan Ahlussunnah Wal Jamaah yang dapat menjawab dan
mematahkan hujjah penghujat itu. Di antara mereka yang paling terkenal ialah
Imam Asy’ary dan Imam Maturidy.
Karena itu ketika ada orang yang menyebutkan Ahlussunnah Wal Jamaah,
yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti rumusan kedua imam tersebut.
Sebagaimana yang dikemukakan Al-Haitami dalam Tathhirul Janan, hal. 7: Jika
Ahlussunnah Wal Jamaah disebutkan, maka yang dimasud adalah orang-orang yang
mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi.
Hal yang sama dikemukakan oleh Thasi Kubri Zadah yang dikutip oleh
Fathullahi Kulaif: Ketahuilah dua orang pelopor Ahlussunnah Wal Jamaah, yang
satu Hanafi, yaitu Abu Mansur Al-Maturidi dan yang satu lagi bermazhab Syafie,
yaitu Abu Hasan Al-Asy’arie (lihat: Kitab Tauhid, hal. 7)
Nama lengkap Iman Al-Asy’ari adalah Abu Hasan ‘Ali bin Isma’il
al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada 260 H/874 M dan wafat pada 324 H/936 M.
Beliau adalah satu keturunan sahabat Nabi saw yang bernama Abu Musa al-Asy’ari.
Setelah ayahnya meninggal, ibu beliau menikah lagi dengan seorang tokoh Muktazilah
yang bernama al-Jubba’i. Imam Asy’ari sangat tekun mempelajari aliran
Muktazilah dan sangat memahami tentang aliran ini. Tidak jarang ia menggantikan
ayah tirinya untuk menyampaikan ajaran Muktazilah.
Dengan kemahiran dan posisinya sebagai anak tiri dari seorang tokoh
utama Muktazilah, banyak orang memperkirakan bahwa suatu saat Imam Asy’ari akan
menggantikan kedudukan ayah tirinya sebagai seorang tokoh Muktazilah. Namun
harapan itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Fakta berbicara lain.
Setelah Imam Asy’ari mendalami ajaran Muktazilah, terungkaplah bahwa ada
banyak celah dan kelemahan yang terdapat dalam aliran tersebut. Sesudah
mengetahui beberapa kelemahan ini, beliau menyendiri dan ber-tafakkur (merenung
dan berfikir) selama 15 hari. Ia meminta kepada Allah swt agar mendapat
petunjuk tentang langkah terbaik yang akan dilaluinya. Akhirnya, ia kembali
pada ajaran Islam yang murni, yakni ajaran yang telah digariskan Rasulullah dan
para sahabat serta dilanjutkan oleh salafus salih.
Imam Asy’ari beranggapan apabila tetap mengamalkan ajaran Muktazilah
yang sangat mengandalkan akal pikiranya, berarti telah melakukan dosa sosial
yang besar, karena mengajak orang lain untuk berbuat kemunafikan. Akhirnya
beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan ajaran Muktazilah. Imam Asy’ari
kemudian memproklamirkan diri dan mengajak manusia untuk kembali Ahlussunnah
Wal Jamaah, seperti yang telah diajarkan para salaf salih (cf. Abu Al-Hasan
al-Nadwi, dalam Muqaddimah Al-Ibanah, 30-31.)
Setelah peristiwa ini, banyak kalangan yang mengagumi keberanian Imam
Asy’ari, sehingga beliau dijuluki sebagai penyelamat akidah umat Islam.
Beliau diposisikan sebagai pelopor kembali kepada Ahlussunnah Wal
Jamaah, karena setelah masa Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, Fuqaha dan Imam
Mazhab Empat, muncul kelompok yang akan merusak kemurnian agama lslam, seperti
para filosof yang terpengaruh betul dengan filsafat syirik Yunani dan Rumawi
kuni, terutama setelah masa penerjemahan buku tersebut ke dalam bahasa Arab.
Beliau dan kawan-kawannya muncul meluruskan kembali sesuai dengan sunnah
Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Asy’ari menulis banyak kitab, di antaranya
al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyinah, Maqalat al-lslamiyuin dan lain sebagainya.
Metode beliau dalam perumusan Ahlussunnah Wal Jamaah didukung oleh
berbagai kalangan, para Muhadditsin (ahli hadis), Fuqaha’ (ahIi fiqh) serta
para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Sebagai contoh kita sebutkan Imam
An-Nawawy (w.677 H) penyusun kitab Riyadhush Shalihin; Syeikh Ibnul Hajar
Al-Asqalany (w.852 H) penulis Fathul Bari, Bulughul Maram, dll; Imam
Al-Qurthuby, pengarang Tafsir Qurthubi; Syeikh Ibnul Hajar Al-Haitamy (w.974 H)
muallif kitab Az-Zawajir; Imam Zakariya Al-Anshary, pengarang kitab Fathul
Wahhab; dan masih amat banyak lagi.
Tidak sedikit pula dari Ahli Tashawwuf yang berorientasi kepada Asy’ary,
seperti Abdul Karim Al-Hawazin (w.465 H) penulis kitab Ar-Risalah
Al-Qusyairyah; Imam Al-Ghazaly (w.505 H). Untuk mengetahui lebih jauh dapat
dirujuk dalam Tabyiinul Kizbil Muftara, hal. 291.
Tokoh Ahlussunnah Wal Jamaah yang kedua adalah Imam al-Maturidi. Nama
beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Almaturidi. Beliau lahir di
Maturid, dan meninggal di Samarkand pada 333 H/944 M. Nama Maturidi sebenarnya
dinisbahkan kepada daerah kelahirannya.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa beliau mengikuti cara Abu Hanifah
dalam fiqh, maka kebanyakan ajaran yang beliau usung masih merupakan bagian
dari Mazhab Abu Hanifah, terutama dalam bidang akidah. Karena itu banyak pakar
yang menyimpulkan bahwa dasar pijak Maturidi dalam akidah adalah pemikiran Abu
Hanifah yang sebenarnya tidak berbeda dengan imam Syafi’ie, Maliki dan Hanbali,
karena keempat mazhab fiqih tersebut adalah Ahlussunnah Wal Jamaah dalam
akidahnya (Tarikh al-Madzahib al-Islimiyyah, Juz I, hal 173)
Murid murid beliau yang terkenal ada 4 orang, yaitu Abu al-Qasim Ishaq
bin Mubammad terkenal sebagai hakim Samarkand (w.340 H); Imam Abu Hasan ‘Ali
bin Sa’id al-Ras Taghfani; Imam Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa al-Bazdawi
(w.390 H). Dan, yang terakhir adalah Imam Abu al-Laits al-Bukhari. Satu-satunya
tulisan Imam Maturidi yang sampai kepada kita adalah kitab al-Tauhid yang
ditahqiq oleh Dr Fathullah Khulayf (cf. At-Tauhid, hal.2).
Sumber: https://www.facebook.com/AcehBukanSerambiWahabi/photos/a.400826406691647.1073741825.127771160663841/818136451627305/?type=1&fref=nf
0 comments:
Post a Comment