A.
Latar Belakang
Pada permulaan
masa Abbasiyah pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya di
seluruh negara Islam. Sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya, tersebar di kota sampai ke desa-desa.
Anak-anak dan pemuda berlomba-lomba untuk menuntut ilmu
pengetahuan, pergi kepusat-pusat pendidikan, meninggalkan
kampung halamannya karena cinta akan ilmu pengetahuan, akan tetapi pada pertengahan dimasa kejayaan Bani Abbasiyah mulai nampak
kemunduran sampai tahap kehancuran kerajaan Bani Abbasiyah.
B.
Sejarah Berdiri dan Kebangkitan Bani
Abbasiyah
Kekuasaan
Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah.
Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah
keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia
dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada
tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari
tahun 750-1258 M (Syalaby,1997:44).
Pada
abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling
dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara
pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah).
Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri
Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu
bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.
Dari
sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian
Dinasti, akan tetapi lebih dari itu adalah pergantian struktur sosial dan
ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan
suatu revolusi. Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang
menjadi identitas revolusi yaitu :
1. Bahwa pada masa sebelum revolusi
ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan
kekecewaan dan penderitaan masyarakat yang di sebabkan oleh ketimpangan-ketimpangan
dari ideologi yang berkuasa.
2. Mekanisme pemerintahannya tidak
efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan
perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
3. Terjadinya penyeberangan kaum
intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang
ditawarkan oleh para kritikus.
4. Revolusi itu pada umumnya bukan
hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan,
melainkan dilakukan oleh para penguasa karena hal-hal tertentu yang merasa
tidak puas dengan sistem yang ada .[1]
Sebelum Daulah Bani Abbasiyah
berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas,
antara satu dengan yang lainnya mempunyai kedudukan
tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar
paman Nabi SAW yaitu Abbas Abdul Muthalib (dari namanya Dinasti itu
disandarkan). Tiga
tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan.
Humaimah
merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan
pendukung Ali ra, maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan
dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah
pendukung Ali bin Abi Thalib. Ia bermusuhan secara terang-terangan dengan
golongan Bani Umayyah.
Demikian
pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai
warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh
pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan
kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah
mendapatkan dukungan. Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan
Bani Abbas dilakukan dalam dua fase yaitu: 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase
terang-terangan dan pertempuran (Hasjmy, 1993:211).
Selama
Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim
keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari
golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada mulanya
mendukung Bani Umayyah. Setelah Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya
Ibrahim, maka seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas bernama Abu
Muslim al-Khusarany, bergabung dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu
dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran.
Akhirnya bulan Zulhijjah 132 H Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh
di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani Abbasiyah resmi berdiri.[2]
Sebagaimana
diketahui sebelumnya bahwa kebebasan berpikir diakui sepenuhnya sebagai hak asasi setiap manusia
oleh Daulah Abbasiyah. Oleh karena itu, pada waktu itu akal dan pikiran benar-benar
dibebaskan dari belenggu taqlid, sehingga orang leluasa mengeluarkan pendapatnya. Berawal dari itu, zaman
pemerintahan Abbasiyah awal melahirkan 4 Imam Madzhab yang ulung, mereka
adalah Imam Asy-Syafi’i , Hanafi, Hambali , dan Maliki.
Disamping
itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal itu juga melahirkan Ilmu Tafsir Al-Quran
dan pemisahnya dari Ilmu Hadits. Sebelumnya, belum terdapat penafsiran seluruh
al-Quran, yang ada hanyalah Tafsir bagi sebagian ayat dari berbagai surah, yang
dibuat untuk tujuan tertentu (Syalaby, 1997:187).
Dalam
negara Islam di masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan, yang berasal
dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam
unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan
yang mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan Persia, Kebudayaan
Yunani, Kebudayaan Hindi dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu
pengetahuan.[3]
Berdirinya
Kekuasaan dinasti Abbasiyah membawa beberapa perubahan sosial politik. Perubahan
yang menonjol adalah tampilnya kelompok Mawalli khususnya di Persia dan Irak.
Mereka menduduki peran dan posisi penting dalam pemerintahan menggantikan
kedudukan bangsawan Arab. Masyarakat Khurasan yang bukan keturunan Arab
mendukung kekuasaan dinasti Abbasiyah meskipun pucuk pimpinan tertinggi
dikuasai oleh keturunan Arab Hasyimiyah. Kelompok Mawalli diberi kesempatan dan
peran-peran strategis dalam pemerintahan seperti dalam bidang administrasi, peradilan,
perekonomian dan lain-lain. Dinasti ini mengembang pola penyatuan antara suku
bangsa Arab dan non Arab dalam upaya mendukung dinasti Abbasiyah.
Pemerintahan Abbasiyah sangat
dominan dengan orang-orang Persia. Orang Khurasan banyak yang menjadi pegawai
pemerintah sedangkan orang-orang Persia menduduki pos-pos penting dalam sistem
pemerintahan. Tradisi Persia diadopsi secara utuh kedalam perilaku keseharian
pada masa dinasti Abbasiyah, seperti gelar kebangsawan, nyanyian, tradisi
pengundikan dan keilmuan Persia. Hanya dengan dua hal bangsa Arab
dapat mempertahankan tradisinya yaitu Islam tetap menjadi agama resmi Negara
dan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi Negara.[4]
C.
Kemunduran Bani Abbasiyah
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani
Abbas pada masa tersebut, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah
Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan
dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana
pemerintahan sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan
bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit
karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat
kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke
Baghdad.[5]
Faktor lain yang
menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di
pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang bani Abbas, karena
khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa
diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah
yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang
merdeka. Di
antara faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah
perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada
pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada
pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan
Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya.
Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan
seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut
jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut
kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal
ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang
sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi.
Sedangkan kekuasaan
dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan
dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut
kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat
apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan
keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki
pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulah Abbasiyah
berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi'ah.
Setelah jatuhnya
kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Bani Seljuk atau Salajiqah Al-Kubro (Seljuk
Agung), posisi dan kedudukan khalifah Abbasiyah sedikit lebih baik, paling
tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan bahkan mereka terus menjaga
keutuhan dan keamanan untuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan manhaj
Sunni yang dianut oleh mereka.[6]
D.
Masa Disintegrasi dan Persaingan Antar Bangsa
Masa disintegrasi (1000-1250 M) ini terjadi setelah pemerintahan periode
pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya
pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dimana
salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan
kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.
Akibat dari
kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam
dari pada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai
lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas, dengan berbagai cara di antaranya
pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh
kemerdekaan penuh.[7]
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang
bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa
Bani Umayyah berkuasa.
Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani
Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab
dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia dari pada orang-orang Arab.
Munculnya dinasti-dinasti yang lahir dan ada yang
melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di
antaranya adalah:
1.
Bangsa Persia:
a.
Bani
Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
b.
Bani
Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
c.
Bani
Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
d.
Bani Sajiyyah
di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
e.
Bani Buwaih,
bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).
2. Bangsa Turki:
a.
Thuluniyah di
Mesir, (254-292 H/837-903 M).
b.
Ikhsyidiyah
di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
c.
Ghaznawiyah
di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M).
d.
Bani
Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:
1)
Seljuk besar,
atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib Tuqhril Bek ibn Mikail
ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama
sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127 M). Dan Sulthan Alib Arselan Rahimahullah
memenangkan Perang Salib ke I atas kaisar Romanus IV dan berhasil menawannya.
2)
Seljuk Kinnan
di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).
3)
Seljuk Syria
atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M).
4)
Seljuk Irak
di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M).
5)
Seljuk Ruum
atau Asia kecil di Asia tengah(Jazirah Anatolia), (470-700H/1077-1299 M).
3. Bangsa Kurdi:
a.
al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
b.
Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M).
c.
al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan
oleh Sulthan Shalahuddin al-ayyubi setelah keberhasilannya
memenangkan Perang Salib periode ke III.
4. Bangsa Arab:
a.
Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985
M).
b.
Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900
M).
d.
'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M).
e.
Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
f.
Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
g.
Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
h.
Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M). [8]
E. Kemerosotan
Ekonomi dan Munculnya
Aliran
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang
ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama,
pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih
besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan
dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.[9]
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan
kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia
tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal
dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Mansur berusaha keras
memberantasnya, bahkan Al-Mahdi
merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang
Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua
itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan
golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti
polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah
di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata
itu.
Pada saat gerakan ini
mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga
banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang
oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran
politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya
sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa.
Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa
dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan
orang Syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah
berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus
tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua
dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang
dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq
atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam.
Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan
salafy. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun,
khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan Mu'tazilah
sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil
(847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan
Sunni kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali terhadap Mu'tazilah
yang rasional dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan
horizon intelektual padahal para salaf telah berusaha untuk mengembalikan
ajaran Islam secara murni sesuai dengan yang dibawa oleh Rasulullah.[10]
F.
Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus
Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan
berziarah di Baitul
Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat
pengaruh dan invasi dari tentara Muslim atas wilayah Kristen. Sebagaimana sebelumhnya tentara Sulthan Alp Arselan Rahimahullah tahun 464 H
(1071 M), yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil
mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah
2.000.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis
dan Armenia, peristiwa ini
dikenal dengan peristiwa
Manzikert.
Walaupun umat Islam
berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian
yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya.
Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah.
Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah
belah. Banyak daulah kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat
Abbasiyah di Baghdad.[11]
Pada tahun 565
H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan
sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa
terakhir Bani Abbas di Baghdad
(1243 - 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung
"topan" tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang
kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah, Ibn Alqami ingin mengambil kesempatan dengan
menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui mereka
untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn Mu'tashim, putera khalifah.
Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak menginginkan
sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sulthan-sulthan Seljuk.[12]
G.
Kesimpulan
Pemerintahan Abbasiyah
sangat dominan dengan orang-orang Persia. Orang Khurasan banyak yang menjadi
pegawai pemerintah sedangkan orang-orang Persia menduduki pos-pos penting dalam
sistem pemerintahan. Tradisi Persia diadopsi secara utuh kedalam perilaku
keseharian pada masa dinasti Abbasiyah, seperti gelar kebangsawan, nyanyian,
tradisi pengundikan dan keilmuan Persia. Hanya dua hal bangsa Arab dapat
mempertahankan tradisinya yaitu Islam tetap menjadi agama resmi Negara dan
Bahasa Arab sebagai bahasa resmi Negara.
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani
Abbasiyah antara lain:
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah
Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan
dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana
pemerintahan sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan
bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit
karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat
kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke
Baghdad.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Persepektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya 2000)
As’ad Mahrus, Sejarah Kebudayaan
Islam, (Bandung: Amico, 1994)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Djazimi, dkk, Ilmu Pendidikan Islam,
(Serang: IAIN ”SMH” Banten, 2001)
Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa`, Sejarah Para Penguasa
Islam. (Jakarta: Al-Kautsar,
2006)
Muhammad Syu'ub , Sejarah Bani Abbasiyyah, (Jakarta: Bulan Bintang)
Munawiyah,
dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda
Aceh: Pusat Studi Wanita, 2009)
[1] Imam As-Suyuthi,
Tarikh Khulafa`, Sejarah Para
Penguasa Islam. (Jakarta: Al-Kautsar, 2006), hal. 23-24
[3] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya 2000), hal. 60
[6]
Munawiyah, Msi dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: Pusat Studi Wanita,2009),
hal. 126-127
[7] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 36
[8] Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa`, Sejarah Para
Penguasa Islam. (Jakarta:
Al-Kautsar,
2006), hal. 79
[12] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Dalam Persepektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya 2000), hal.
73
0 comments:
Post a Comment