# Selamat Datang di Blog Baitul Hikmah Al-Aziziyah Gampong Tufah Kecamatan Jeunieb Kabupaten Bireuen. Sharing Informasi Terkini dan Berita-Berita Unik lainnya. #
Home » » SEJARAH ISLAM PADA MASA BANI ABBASIYAH

SEJARAH ISLAM PADA MASA BANI ABBASIYAH

Written By Blog on Friday 13 March 2015 | 05:40

  A.   Latar Belakang
Pada permulaan masa Abbasiyah pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya di seluruh negara Islam. Sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya, tersebar di kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda berlomba-lomba untuk menuntut ilmu pengetahuan, pergi kepusat-pusat pendidikan, meninggalkan kampung halamannya karena cinta akan ilmu pengetahuan, akan tetapi pada pertengahan dimasa kejayaan Bani Abbasiyah mulai nampak kemunduran sampai tahap kehancuran kerajaan Bani Abbasiyah.

B.  Sejarah Berdiri dan Kebangkitan Bani Abbasiyah
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M (Syalaby,1997:44).
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.
Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti, akan tetapi lebih dari itu adalah pergantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi. Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
1.      Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan dan penderitaan masyarakat yang di sebabkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang  berkuasa.
2.      Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
3.      Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
4.      Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa karena hal-hal tertentu yang merasa tidak puas dengan sistem yang ada .[1]
Sebelum Daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lainnya mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Nabi SAW yaitu Abbas Abdul Muthalib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan.
Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali ra, maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Thalib. Ia bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah.
Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan. Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas dilakukan dalam dua fase yaitu: 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan dan pertempuran (Hasjmy, 1993:211).
Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada mulanya mendukung Bani Umayyah. Setelah Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim, maka seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas bernama Abu Muslim al-Khusarany, bergabung dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran. Akhirnya bulan Zulhijjah 132 H Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani Abbasiyah resmi berdiri.[2]
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa kebebasan berpikir diakui sepenuhnya sebagai hak asasi setiap manusia oleh Daulah Abbasiyah. Oleh karena itu, pada waktu itu akal dan pikiran benar-benar dibebaskan dari belenggu taqlid, sehingga orang leluasa mengeluarkan pendapatnya. Berawal dari itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal melahirkan 4 Imam Madzhab yang ulung, mereka adalah Imam Asy-Syafi’i , Hanafi, Hambali , dan Maliki.
Disamping itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal itu juga melahirkan Ilmu Tafsir Al-Quran dan pemisahnya dari Ilmu Hadits. Sebelumnya, belum terdapat penafsiran seluruh al-Quran, yang ada hanyalah Tafsir bagi sebagian ayat dari berbagai surah, yang dibuat untuk tujuan tertentu (Syalaby, 1997:187).
Dalam negara Islam di masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan, yang berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan yang mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan Persia, Kebudayaan Yunani, Kebudayaan Hindi dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.[3]
Berdirinya Kekuasaan dinasti Abbasiyah membawa beberapa perubahan sosial politik. Perubahan yang menonjol adalah tampilnya kelompok Mawalli khususnya di Persia dan Irak. Mereka menduduki peran dan posisi penting dalam pemerintahan menggantikan kedudukan bangsawan Arab. Masyarakat Khurasan yang bukan keturunan Arab mendukung kekuasaan dinasti Abbasiyah meskipun pucuk pimpinan tertinggi dikuasai oleh keturunan Arab Hasyimiyah. Kelompok Mawalli diberi kesempatan dan peran-peran strategis dalam pemerintahan seperti dalam bidang administrasi, peradilan, perekonomian dan lain-lain. Dinasti ini mengembang pola penyatuan antara suku bangsa Arab dan non Arab dalam upaya mendukung dinasti Abbasiyah.
Pemerintahan Abbasiyah sangat dominan dengan orang-orang Persia. Orang Khurasan banyak yang menjadi pegawai pemerintah sedangkan orang-orang Persia menduduki pos-pos penting dalam sistem pemerintahan. Tradisi Persia diadopsi secara utuh kedalam perilaku keseharian pada masa dinasti Abbasiyah, seperti gelar kebangsawan, nyanyian, tradisi pengundikan dan keilmuan Persia. Hanya dengan dua hal bangsa Arab dapat mempertahankan tradisinya yaitu Islam tetap menjadi agama resmi Negara dan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi Negara.[4]

C.  Kemunduran Bani Abbasiyah
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa tersebut, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
1.      Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2.      Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3.      Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.[5]
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Di antara faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi.
Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulah Abbasiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi'ah.
Setelah jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Bani Seljuk atau Salajiqah Al-Kubro (Seljuk Agung), posisi dan kedudukan khalifah Abbasiyah sedikit lebih baik, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan untuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan manhaj Sunni yang dianut oleh mereka.[6]

D.  Masa Disintegrasi dan Persaingan Antar Bangsa
Masa disintegrasi (1000-1250 M) ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan. 
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.[7]
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia dari pada orang-orang Arab.
Munculnya dinasti-dinasti yang lahir dan ada yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:

1.      Bangsa Persia:

a.       Bani Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
b.      Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
c.       Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
d.      Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
e.       Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).

2.      Bangsa Turki:

a.       Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
b.      Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
c.       Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M).
d.      Bani Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:
1)        Seljuk besar, atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib Tuqhril Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127 M). Dan Sulthan Alib Arselan Rahimahullah memenangkan Perang Salib ke I atas kaisar Romanus IV dan berhasil menawannya.
2)        Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).
3)        Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M).
4)        Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M).
5)        Seljuk Ruum atau Asia kecil di Asia tengah(Jazirah Anatolia), (470-700H/1077-1299 M).

3.      Bangsa Kurdi:

a.         al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
b.         Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M).
c.         al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan Shalahuddin al-ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib periode ke III.

4.      Bangsa Arab:

a.         Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M).
b.         Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
c.         Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
d.        'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M).
e.         Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
f.          Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
g.         Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
h.         Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M). [8]

E.  Kemerosotan Ekonomi dan Munculnya Aliran
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.[9]
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Mansur berusaha keras memberantasnya, bahkan Al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang Syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salafy. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Sunni kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali terhadap Mu'tazilah yang rasional dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan horizon intelektual padahal para salaf telah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai dengan yang dibawa oleh Rasulullah.[10]

F.   Perang Salib

Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan invasi dari tentara Muslim atas wilayah Kristen. Sebagaimana sebelumhnya tentara Sulthan Alp Arselan Rahimahullah tahun 464 H (1071 M), yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 2.000.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia, peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Manzikert.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak daulah kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.[11]
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 - 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah, Ibn Alqami ingin mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn Mu'tashim, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sulthan-sulthan Seljuk.[12]

G. Kesimpulan
Pemerintahan Abbasiyah sangat dominan dengan orang-orang Persia. Orang Khurasan banyak yang menjadi pegawai pemerintah sedangkan orang-orang Persia menduduki pos-pos penting dalam sistem pemerintahan. Tradisi Persia diadopsi secara utuh kedalam perilaku keseharian pada masa dinasti Abbasiyah, seperti gelar kebangsawan, nyanyian, tradisi pengundikan dan keilmuan Persia. Hanya dua hal bangsa Arab dapat mempertahankan tradisinya yaitu Islam tetap menjadi agama resmi Negara dan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi Negara.
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah antara lain:
1.      Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2.      Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3.      Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya 2000)
As’ad Mahrus, Sejarah Kebudayaan Islam, (Bandung: Amico, 1994)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Djazimi, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Serang: IAIN ”SMH” Banten, 2001)
Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa`, Sejarah Para Penguasa Islam. (Jakarta: Al-Kautsar, 2006)
Muhammad Syu'ub , Sejarah Bani Abbasiyyah, (Jakarta: Bulan Bintang)
Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: Pusat Studi Wanita, 2009)



[1] Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa`, Sejarah Para Penguasa Islam. (Jakarta: Al-Kautsar, 2006), hal.  23-24
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 49
[3] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya 2000), hal. 60
[4] Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: Pusat Studi Wanita, 2009), hal. 114.
[5] Muhammad Syu'ub , Sejarah Bani Abbasiyyah, (Jakarta: Bulan Bintang), hal. 29
[6] Munawiyah, Msi dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: Pusat Studi Wanita,2009), hal. 126-127
[7] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 36
[8] Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa`, Sejarah Para Penguasa Islam. (Jakarta: Al-Kautsar, 2006), hal. 79
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 47
[10] As’ad Mahrus, Sejarah Kebudayaan Islam, (Bandung: Amico, 1994), hal. 37
[11] Djazimi, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Serang: IAIN ”SMH” Banten, 2001), hal. 29
[12] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Persepektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya 2000), hal. 73

Facebook Komentar:

0 comments:

Post a Comment

Wisata Aceh

Popular Posts